Suatu kali lirik lagu pop yang dinyayikan Broery Pesolima sudah terasa sangat membingungkan. Penyanyi bersuara mendayu-dayu ini bilang buah semangka berdaun sirih, ternyata kelak ada yang lebih membingungkan: menanam singkong tumbuh jagung, yang dipanen meranti. Itulah repotnya ketika ketidakotentikkan ditolerir, akhirnya merambah ke mana-mana, termasuk program kerja.
Yang terakhir ini pasti kita tahu soal mimpi di siang bolong: swasembada pangan. Caranya lewat program food estate. Lalu hutan di Kalimantan bagian paru paru dunia itu ditebang, diambil kayunya, tanah gambutnya dicangkuli ditanami singkong. Di kemudian hari baru diketahui, struktur dan unsur tanah tak memadai untuk tanaman pangan dan palawija. Agar tak kewirangan di musim pemilu, ditanamlah jagung, tumbuhan yang bisa cepat berbuah hanya dalam waktu 70 hari itu di dalam polybag-polybag.
Cara berpikirnya yang instan, mau cepat dan mudah saja, khas pedagang barang kelontong di lapak-lapak kaki lima pinggir jalan.
Pada zaman yang tak menghargai otentisitas, tak heran jika pemimpin pun “direpro” seperti tukang modifikasi mobil mereparasi onderdil aspal di bengkel ketok magic.
Ada seorang calon presiden yang dulu sangat gemar meniru tokoh proklamator Soekarno. Ia sangat gemar memakai baju safari, memakai peci hitam dan sesekali tentu memegang tongkat komando. Yang paling mudah dilihat ini sebuah 'copy paste' adalah gaya pidatonya. Ia selalu berbicara berapi api, menggelegar bahkan secara tak sengaja sambil mengetuk meja.
Barangkali sambil berimajinasi ketika Soekarno menggebrak meja majelis sidang PBB mengeritik lembaga bangsa-bangsa yang macet, invalid itu, sambil mengenalkan gagasan bangsa-bangsa non blok lewat pidato “To Build a World a New”.
Load more