Tapi itu dulu. Kini ia tampil menjiplak tokoh politik lain. Ia kini rebranding meniru tokoh politik lain era kiwari: Jokowi. Ia meninggalkan baju safari dan celana drill lapangan tampil dengan wajah baru: berkemeja putih, ujung lengannya sedikit digulung. Gimik diciptakan: gemoy, santuy dan lebih banyak joget-joget.
Namun, sejauh-jauhnya tiruan, ia tetap replika. Ia bukan asli, otentik. Persis bedak pupur yang ditebalkan di wajah agar menutupi kulit yang mungkin bopeng-bopeng dan suatu ketika akan luntur terkena cipratan air hujan.
Wajah kita sesungguhnya terbaca jelas ketika dalam keadaan tidak normal: terdesak atau terancam. Ketika zaman kuliah dulu, ketika mulai ikut-ikutan naik gunung bersama teman-teman dari organisasi pecinta alam kampus, cara saya menguji jiwa kepemimpinan seorang teman adalah dengan diajak naik gunung. Pada batas antara kelelahan, ketakutan, lapar, khawatir dan perasaan tidak nyaman lainnya, terlihat sisi otentik setiap teman saya ketika itu. Itulah sifat, karakter, tabiat, watak asli si tokoh.
Dalam pemilu 2024, calon calon pemimpin bisa didandani dengan banyak pakaian: baju penerbang, baju pendaki gunung, baju daerah, jaket bisbol, jas perlente, tapi dalam kondisi terdesak ia akan muncul tabiat aslinya. Kosmetik itu akhirnya meleleh. Seorang yang pemarah akan muncul sikap temperamentalnya, seorang yang gemar meremehkan orang akan “bocor” juga perangi aslinya.
Dalam terminologi agama, sikap lain dikata, lain dihati, beda anjuran beda tindakan disebut dengan munafik. Kitab suci punya pernyataan keras untuk perilaku munafik. “Wahai sekalian orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Besarlah dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakanya (QS. Al Shaff/61:2-3)
Saya ingat kata kata mutiara Abraham Lincoln soal perilaku pemimpin yang tak otentik, alias pagi tempe sore kedelai: “Kamu dapat menipu satu orang selama-lamanya; kamu juga dapat menipu semua orang dalam satu saat; tapi kamu tidak akan menipu semua orang selama lamanya.”
Load more