Pasti Anda bertanya, kenapa suara keprihatinan dari kampus harus disampaikan secara terbuka layaknya aksi mahasiswa di jalanan? Tidak bisakah disampaikan langsung pada Jokowi? Tidak adakah cara lebih damai untuk menyampaikan pokok pikiran koreksi?
Saya ingin bicara “konflik” sebagai cara berkomunikasi. Suka atau tidak suka, pola konflik sebagai bentuk komunikasi seringkali jauh lebih efektif. Dalam rumah tangga misalnya, kritik suami pada istri misalnya lebih efektif jika diungkapkan dengan sedikit konflik. Dengan skema itu ada masing masing pihak akan mengadakan penilaian kembali terhadap dirinya dan terhadap “lawannya”, sehingga akan tercipta keseimbangan sudut pandang baru.
Jadi, bagi pemerintahan yang sehat, kritik dari perguruan tinggi dan kampus kampus ternama itu seharusnya dipahami sebagai umpan balik (feedback) yang menyehatkan.
Maklum, sebagai perencana dan pelaksana program pembangunan (juga gelaran pemilu), pemerintah bisa abai melihat ekses dan dampak dari kebijakannya. Kritik dari lembaga perguruan tinggi adalah feedback, umpan balik yang konstruktif atas semua ekses yang terjadi dari pernyataan pernyataan Presiden Jokowi.
Sebab, bisakah pembantu pembantu presiden atau jajaran ASN memberikan koreksi? Saya kira sulit. Bagaimana dengan fungsi pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat? Kita tahu kini DPR telah jadi lembaga pemberi stempel ‘setuju’ atas apapun program kerja pemerintah.
Demikian, suara keprihatinan kampus pada akhirnya harus dipahami sebagai suara moral, gema suara roh dari hati nurani terdalam. Ia membawa suara kejernihan bagi gerakan korektif yang sebenarnya tidak akan menjadi musuh bagi pemerintah manapun, kecuali bagi kekuasaan yang tidak memiliki maksud baik bagi keseluruhan masyarakat. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more