PETISI yang disampaikan sejumlah guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mengingatkan keadaan—termasuk pada sepak terjang Presiden Jokowi sebagai mengampu tertinggi kehidupan politik di tanah air--harus kita pahami sebagai suara jernih dari ketinggian moral.
Kita seperti diberikan cermin yang bening untuk berkaca: inilah wajah demokrasi di republik. Sebagian nampak kumal, cemang cemong, penuh jelaga tebal. Tapi, bagaimanapun itulah wajah kita.
Suara dari kampus ibarat tatapan mata elang dari negeri di atas awan. Dari posisi menara gading, ia begitu tajam menembus kedalaman persoalan karena ia berada di ketinggian. Ia akan terbang menukik ketika ada marabahaya mengancam. Maklum, ketika orang-orang memandang segala sesuatu dari kerendahan penglihatan, tak pelak kenyataan di luar dirinya akan kabur. Satu-satunya kebenaran adalah yang tampak dari sudut pandangnya. Ia tak bisa menangkap kebenaran lain dari posisi tetangga di seberang jalan.
"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada," begitu bunyi Petisi Bulaksumur yang dibacakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro, di Balairung UGM, Sleman, DIY, akkhir Januari 2024.
Sebuah petisi yang kita tahu ternyata beresonansi dengan kenyataan dan kebenaran. Buktinya, ia segera disambut seruan seruan lainnya dari lembaga pendidikan yang cukup berintegritas: Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran.
Yang membahagiakan, seruan keprihatinan dari kampus kampus ternama itu menyadarkan ternyata tidak semua elemen masyarakat terlena, ternina bobokan dan abai pada keadaan bangsa.
Sebagai Aparatur Sipil Negara, para guru besar ini bagian kelompok sosial yang dinaikkan gajinya 8 kali oleh pemerintah. Dalam aturan baru mereka juga bisa mendapatkan kenaikan jabatan hingga 6 kali dalam setahun, juga tunjangan bulanan dan bonus tahunan. Kondisi yang serba nyaman sebenarnya.
Tapi, seberapapun emasnya, bagi elang yang terbiasa terbang menembus puncak-puncak langit, sangkar tetaplah sangkar.
Maraknya petisi keprihatinan dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri seperti membangkitkan lagi diskusi panjang soal posisi intelektual di kampus sebagai salah satu agen perubahan masyarakat.
Selama ini guru guru besar di kampus ---bagian kelas menengah--- nyaris terbelah dalam oposisi biner yang tak bisa dipertemukan. Pertama, jadi kelompok yang mendekat dan jadi bagian kekuasaan. Kedua, menjauh dan memusuhi kekuasaan. Kedua kubu nyaris saling tidak bertegur sapa.
Ketika intelektual jadi teknokrat dan masuk ke dalam kekuasaan akan meninggalkan seluruh baju akademis dan ilmu pengetahuannya. Ia menjadi loyal dan sangat patuh pada penguasa. Sementara kubu lainnya seperti “jijik” dengan perubahan intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan.
Akibatnya, mayoritas akademisi jadi terlalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Terlibat dalam politik kekuasaan dianggap mengotori dunia intelektualitas. Pada akhirnya barisan pemikir di kampus tinggal di menara menara gading, jadi makhluk yang apolitis, seperti terpisah dari denyut denyar keadaan sosial politik yang tengah berlangsung.
Padahal, menurut Arief Budiman, ---intelektual publik yang juga pelopor demonstrasi mahasiswa pada 1966 dan demonstran pertama rezim Soeharto pada 1970-an---, dalam sejarah Indonesia Modern peran masyarakat intelektual di kampus selalu jadi kelompok penekan (pressure group) yang organik.
Jadi kelompok penekan tak harus memiliki massa yang besar dan bisa dilakukan siapa saja, apalagi akademisi di perguruan tinggi. Sebab, ujar Arief Budiman, setiap kelompok warga, organisasi masyarakat, dosen perguruan tinggi, pelajar dan mahasiswa yang terorganisir untuk memperjuangkan kepentingan umum, kepentingan materiil, ideologi maupun nilai-nilai bersama adalah bagian kelompok penekan yang efektif.
Tugas kelompok ini membuat penguasa mengenali lagi kepentingan umum, nilai-nilai keadaban publik yang diteriakkan, lalu penguasa akan memberikan tempat pada nilai-nilai yang dituntut, sehingga keadaan yang dekadens akan berubah.
Daya gedor kelompok penekan tergantung pada isi dari apa yang diperjuangkan. Apa yang dilakukan kelompok masyarakat menengah sipil di Muhammadiyah, UGM, UII dan Universitas Indonesia itu misalnya akan bergema, hidup, bertaut kuat di masyarakat bila menyuarakan kebenaran yang dialami dan diakui sebagian besar masyarakat.
Dengan kata lain, selamanya gerakan dari kampus tetap hanyalah kekuatan moral, bukan kekuatan politik. Ia hanyalah kekuatan korektif yang temporer.
Begitu penguasa menindaklanjuti suara-suara keprihatinan itu, maka gerakan itu dengan sendirinya akan padam. Jika ia ternyata tetap berlanjut, ia bukanlah lagi gerakan moral, dan suaranya tak dipahami lagi sebagai kebenaran di masyarakat. Jika tetap dipaksakan ia akan kehilangan kekuatan dengan sendirinya. Seperti ada kontrol tak terlihat dari gerakan moral dari kampus.
Pasti Anda bertanya, kenapa suara keprihatinan dari kampus harus disampaikan secara terbuka layaknya aksi mahasiswa di jalanan? Tidak bisakah disampaikan langsung pada Jokowi? Tidak adakah cara lebih damai untuk menyampaikan pokok pikiran koreksi?
Saya ingin bicara “konflik” sebagai cara berkomunikasi. Suka atau tidak suka, pola konflik sebagai bentuk komunikasi seringkali jauh lebih efektif. Dalam rumah tangga misalnya, kritik suami pada istri misalnya lebih efektif jika diungkapkan dengan sedikit konflik. Dengan skema itu ada masing masing pihak akan mengadakan penilaian kembali terhadap dirinya dan terhadap “lawannya”, sehingga akan tercipta keseimbangan sudut pandang baru.
Jadi, bagi pemerintahan yang sehat, kritik dari perguruan tinggi dan kampus kampus ternama itu seharusnya dipahami sebagai umpan balik (feedback) yang menyehatkan.
Maklum, sebagai perencana dan pelaksana program pembangunan (juga gelaran pemilu), pemerintah bisa abai melihat ekses dan dampak dari kebijakannya. Kritik dari lembaga perguruan tinggi adalah feedback, umpan balik yang konstruktif atas semua ekses yang terjadi dari pernyataan pernyataan Presiden Jokowi.
Sebab, bisakah pembantu pembantu presiden atau jajaran ASN memberikan koreksi? Saya kira sulit. Bagaimana dengan fungsi pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat? Kita tahu kini DPR telah jadi lembaga pemberi stempel ‘setuju’ atas apapun program kerja pemerintah.
Demikian, suara keprihatinan kampus pada akhirnya harus dipahami sebagai suara moral, gema suara roh dari hati nurani terdalam. Ia membawa suara kejernihan bagi gerakan korektif yang sebenarnya tidak akan menjadi musuh bagi pemerintah manapun, kecuali bagi kekuasaan yang tidak memiliki maksud baik bagi keseluruhan masyarakat. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more