RAKYAT, sang pemilik mandat itu akhirnya memutuskan: Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan jadi Presiden untuk lima tahun ke depan (2024-2029). Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei arus utama, pasangan nomor urut 02 berhasil merebut suara rakyat secara mutlak dan meyakinkan: di atas 55 persen. Hampir bisa dipastikan pemilu hanya berlangsung satu putaran.
Hasil hitung cepat juga membuktikan, hampir seluruh provinsi membiru, termasuk DKI Jakarta yang disebut basis PKS; Jawa Tengah, Bali dan Sulut yang disebut Kandang Banteng (PDIP). Telak! Mengingatkan pada kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada pemilu 2019 hingga 60 persen.
Bagaimana kita memahami kemenangan sangat signifikan dari Prabowo Gibran? Sejatinya apa yang sedang terjadi sehingga masyarakat lebih memilih pasangan dengan program melanjutkan semua pembangunan Jokowi? Bagaimana makna dari perolehan suara suara dalam pemilu ini bagi masa depan Indonesia ke depan?
Yang tak terbantahkan adalah: rakyat memutuskan program pembangunan Jokowi berlanjut daripada memilih semua isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Mayoritas diam itu akhirnya bersuara, bahwa krisis moral dan etik dalam bernegara, kemunduran demokrasi, pelanggaraan Hak Asasi manusia hanya wacana orang gedongan di perkotaan.
Suara keprihatinan yang marak sebelum pencoblosan dari berbagai universitas dan perguruan tinggi yang disuarakan guru besar juga tidak ngefek. Suara kampus tetaplah suara dari menara gading, teriakan dari padang gurun yang hanya menjadi gema bagi kalangan terbatas. Yang terjadi justru sebaliknya, konsolidasi rakyat untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran semakin massif. Kampanye terakhirnya di Stadion Gelora Bung Karno pada 10 Februari meluber hingga ke Jalan Asia Afrika dan Jalan Jenderal Sudirman.
Ada beberapa hal yang menjelaskan ini bisa terjadi.
Rakyat memahami Prabowo memang wis wayahe, sudah saatnya. Ia yang sudah berkali-kali kalah dalam kontestasi, tidakkah sebaiknya diberi kesempatan? Dongeng-dongengnya sebagai pemimpin yang berani, tulus dan ikhlas, telah lebih dulu bersemayam di benak Rakyat Indonesia. Simbolnya dengan akronim PS 08, misalnya diartikan sebagai Prabowo Subianto Presiden ke-08 Republik Indonesia. Pendeknya dibenak rakyat, kemenangan Prabowo dipahami sebagai sudah takdir, wis wayahe.
Yang juga penting dicatat, piawainya tim pemenangan Prabowo-Gibran mengorkestrasi sisi psikologi massa akar rumput. Kita ingat bagaimana Prabowo menangis ketika diserang kinerjanya sebagai Menteri Pertahanan. Publik memberi tone positif ketika pada debat terakhir Prabowo meminta maaf atas semua perilaku dan perkataannya di masa lalu.
Last but not least, peran Gibran Rakabuming mengkonsolidasikan suara generasi Z pada pilpres 2024. Hasil sigi lembaga survei pasangan Prabowo Gibran hampir memborong semua suara pemilih muda di bawah 26 tahun dengan angka 65 persen. Kampanye Gibran yang remeh temeh, jelas-jelas tak berisi muatan politik, seperti bermain futsal atau bertanding basket dengan selebriti justru nyatanya sangat berhasil dikonversi menjadi suara di TPS.
Tak lalu tak ada catatan hitam pada proses pemilu. Kita tak bisa menafikan fakta-fakta yang meyakinkan yang dirangkum dalam dokumenter Dirty Vote. Lalu apakah dengan sejumlah fakta-fakta soal pelanggaran pemilu 2024, kita dipastikan akan menempuh fase decline demokrasi (senjakala demokrasi)?
Saya termasuk orang yang percaya demokrasi akan baik baik saja. Akan sangat sulit bagi pemimpin yang tercipta dari pemilu 2024 jika ingin menarik mundur perjalanan bangsa ke era Orde Baru. Kelompok kelas menengah sudah menyediakan diri untuk menjadi barisan oposisi. Pada kelompok ini suara mahasiswa dan guru besar di universitas kita posisikan. Saya yakin, demokrasi tetap akan diperjuangkan oleh masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat dan media massa, apapun resikonya.
Saya justru melihat struktur politik yang tercipta bakal lebih sehat.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto misalnya telah mengungkapkan Partai Banteng siap untuk menjadi oposisi jika hitung resmi sudah definitif menetapkan pemenang pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Tak lalu godaan untuk masuk koalisi tidak dilakukan, lewat Sri Sultan HB X Presiden Jokowi sudah meminta dipertemukan dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Saya tak menafikan, pertemuan antara tokoh bangsa baik untuk merumuskan masa depan negeri tercinta, namun elok tidak untuk berbicara bagi-bagi kekuasaan saat keringat relawan paslon masih belum kering. Apalagi, bagi saya tugas oposisi sama mulianya dengan berkuasa. Demokrasi mensyaratkan perimbangan kekuasaan antara yang berkuasa dan yang mengawasi, check and balances harus tercipta dari proses pemilu 2024.
Kepentingan untuk menjaga oposisi sebagian bagian alamiah dari kekuasaan adalah ikhtiar untuk menjaga kualitas kepemimpinan. Bukankah intan yang berharga mahal, didapat dari juru tatah dan gesek yang menciptakan cahaya yang berkilauan? Negarawan Inggris menyebut laku oposisi adalah cara untuk membuat kekuasaan bertahan lama: “Tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lama tanpa adanya oposisi yang kuat.”
PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang punya nafas panjang dalam beroposisi.
PDIP memperoleh kemenangan elektoralnya pada 2014 justru setelah selama sepuluh tahun memilih berada di luar pemerintahan SBY. Begitu juga PKS, ia partai yang tangguh dalam beroposisi, sebuah pilihan yang sebenarnya tak mudah ketika sifat pragmatisme merajalela. PKS tak tergoda untuk masuk ke pemerintahan Jokowi meski godaan untuk itu terus menerus datang. Berkah sepuluh tahun oposisi, PKS termasuk partai yang mendapatkan capaian suara stabil pada pemilu 2019 dan 2024.
Ihwal Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD, saya kira mereka mereka adalah pendekar-pendekar masyarakat sipil. Kita bisa berharap mereka terus berkiprah di pembangunan politik kewargaan dengan peran perannya selama ini yang sangat signifikan di masyarakat sipil.
Persoalan keumatan, pendampingan pada isu isu keadilan sosial, reformasi hukum, memperbaiki mutu pendidikan, pemberdayaan ibu dan perempuan menunggu peran empat tokoh bangsa tersebut. Persoalan bangsa terlampau besar jika hanya diserahkan pada negara. Cukup lama mereka meninggalkan gelanggang masyarakat sipil. Saya kira berkhidmat pada masyarakat sama mulianya dengan berkuasa. Harapan untuk itu bukan tak ada. Anies Baswedan sudah menyebut, tak akan mundur seinci pun dari posisinya sekarang. “Saya pastikan saya tetap akan bersama saudara sekalian,” ujarnya di depan massa pendukung saat melaporkan proses hitung cepat pada koalisinya.
Akhirnya, saya tak melihat setitik pun alasan untuk pesimis. Selalu ada cahaya di ujung terowongan. Setelah proses panjang pemilu yang diikhtiarkan sama sama, inilah jalan terbaik, jalan yang paling masuk akal, beradab dan terhormat yang sudah ditentukan oleh para silent majority. Saatnya sekarang Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming berkiprah mewujudkan semua program kerjanya. Saatnya pula kita mengawal dengan sebaik baiknya, sehormat hormatnya. Selamat berkiprah!
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more