Negosiasi jadi kata kunci dari peraturan presiden ini untuk menjembatani ketimpangan antara media massa dengan platform digital global yang terjadi akibat disrupsi digital. Ada harapan persaingan usaha dan hak cipta akan mendapat perhatian lebih dengan aturan baru ini.
Lalu untuk apa harus mengundang intervensi negara? Tidakkah preseden buruk, meminta negara ikut campur dalam urusan media?
Data memang membeberkan perlunya intervensi negara karena ekosistem media massa daring saat ini sangat monopolistik. Segelintir perusahaan platform digital telah menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital dan lebih dari 80% distribusi konten jurnalistik. Kehadiran negara untuk mengendalikan industri yang mulai tidak sehat. Apalagi, jika bidang itu bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pers.
Bagi saya persoalan jurnalisme berkualitas dan bisnis yang sehat adalah satu koin dengan dua sisi. Keduanya menyatu, integral, tak terpisahkan. Dari sejarah pers yang lebih mapan, yang telah berumur ratusan tahun, seperti The Guardian atau The Economist misalnya kita belajar, jurnalisme yang bermutu harus disokong oleh bisnis yang kuat. Begitu juga sebaliknya, bisnis yang sehat, pasti disokong oleh kualitas jurnalisme yang mumpuni.
Apalagi, harus diakui, setelah era bredel media tidak ada lagi, ancaman terbesar kebebasan pers justru dari internal media sendiri. Banyak media massa berguguran karena ditutup oleh pemilik modal karena kesulitan keuangan yang berlarut. Bredel paling mengerikan saat ini adalah penutupan media oleh pemilik modal.
Namun, yang harus diingat, hak negosiasi ini pun tetaplah sebuah pilihan bebas. Disebutkan jelas: dalam publisher rights jika media merasa nyaman bekerja sama dengan platform digital dalam skema sebelum regulasi, itu tetap sah dan bisa terus dilanjutkan.
Load more