Oleh: Dr. Moh Sholeh-Basyari*
Bersama Syarikat Islam (SI) dan Muhammadiyah, NU adalah organisasi Islam tertua di republik ini. Secara berurutan, SI lahir 16 Oktober 1905, Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912, serta NU lahir pada 31 Januari 1926. Ormas-ormas ini lahir dengan latar belakang pergolakan dan pergerakan. Ketiganya merupakan organisasi Islam yang lahir dari rahim ibu pertiwi, tanpa bercampur atau terkontaminasi ideologi Islam Timur Tengah.
Meski sama-sama lahir dari rahim Islam, NU memiliki sedikit perbedaan sekaligus keunikan dibanding SI dan Muhammadiyah. Jika kelahiran SI dilatarbelakangi oleh dan sebagai reaksi para pedagang Muslim atas monopoli pedagang China. Muhammadiyah lahir sebagai dorongan perlunya purifikasi dan semangat membangun perbaikan sosial ekonomi umat, maka NU lahir sebagai bentuk dan wadah gerakan pemikiran Islam khas pesantren, khas Indonesia.
Hanya NU satu-satunya ormas yang lahir demi dan atas nama kebangkitan pemikiran. Oleh karena itu siklus perubahan nama, sebelum menggunakan nomenklatur permanen Nahdlatul Ulama, penamaan NU sangat mencerminkan arah perjuangan yang tidak lepas dari dualisme gerakan kebangkitan-pemikiran. Siklus nama-nama tersebut adalah Nahdlatut Tujar (kebangkitan para pebisnis), Tashwirul Afkar (potret pemikiran), hingga secara permanen, nomenklatur Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) dipilih sebagai representasi kebangkitan ulama di pentas nasional dan internasional.
Di pentas nasional, kiprah dan peran NU mudah terlacak. Sejak berdiri hingga kini, NU selalu menyumbangkan kader-kadernya untuk kepentingan nasional. Pada masa revolusi fisik, NU membentuk laskar pesantren untuk diterjunkan di medan tempur melawan Belanda. Pada masa awal menjelang kemerdekaan, tepatnya pada Muktamar NU di Banjarmasin (Kalimantan Selatan) Tahun 1939, NU memecah kebuntuan terkait polemik dasar dan bentuk negara dengan menyebut bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (bekas Hindia Belanda) adalah bentuk final perjuangan politik.
Kiprah NU di pentas nasional agak meredup, hanya pada masa Orde Baru. Orde di bawah kendali Jenderal Besar Soeharto ini, menginjak NU dengan politik belah bambunya. Praktik politik sepanjang 32 tahun orde pembangunan ini, tidak ada satu pun tokoh NU yang diberi peran sebagai menteri atau jabatan lain yang sepadan. Politik fusi, yakni "regrouping" partai-partai berdasar “ideologi” dan “agama”, semakin memperparah penzaliman Orba pada NU. NU yang pada pemilu masa Orde Lama, selalu berada di tiga besar (PNI, Masyumi, dan NU), dipaksa untuk menggabungkan diri dengan partai-parti Islam gurem dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kebesaran NU dikerdilkan, kekuatan NU diredupkan demi menjinakkan potensi kiai-kiai.
Di bidang ekonomi, kiai-kiai NU yang pada masa Orla adalah pemegang konsesi bagi petani yang memasukkan tebu ke pabrik-pabrik gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah diambil alih rezim Orba. Akibatnya kelas menengah santri di desa-desa kolaps. Kekuatan dan sumber-sumber ekonomi NU diamputasi. Melemahnya sumber ekonomi NU memberi dampak langsung terhadap sumber daya manusia NU. Putra-putra kiai serta anak-anak pesantren mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya, sebab minimnya budget dan akses NU pada sumber-sumber keuangan dan ekonomi.
Load more