Membincangkan relasi NU-Partai Politik adalah yang selalu menarik. Sekarang, nyaris di semua partai politik, terdapat kader NU. Kebijakan “one party policy” zaman Gus Dur yang menempatkan PKB sebagai partai tunggal rumah politik warga NU tampaknya layak untuk di-"review" dalam Muktamar Ke 34 di Lampung, akhir Desemeber 2021. Dari sisi perolehan suara dan lebih-lebih dari sisi gagasan, kerja politik PKB stagnan. Keberadaan PKB sebagai saluran politik NU kurang maksimal. Kebesaran ide dan jam’iyah NU tidak terepresentasi dalam struktur, kinerja, dan tidak tercermin dalam kiprah PKB.
Di samping itu, ada sejumlah "basic reasoning" kenapa "review" relasi NU-Parpol layak dihadirkan dalam muktamar nanti? Pertama, politik NU adalah politik negara, bukan politik partisan. Dengan hanya memilih PKB sebagai saluran politik, maka bertentangan dengan konsep politik negara NU. Kedua, selayaknya NU memayungi kader-kadernya yang bertebaran di banyak partai politik dan memperlakukan secara sama. Sejujurnya, hadirnya kader NU di banyak parpol, meringankan beban NU dalam pengelolaan dan distribusi kader, lebih-lebih jika kader-kader tersebut menumpuk di hanya satu parpol. Ketiga, politik negara dan nonpartisan NU, memungkinkan NU bergerak lebih lincah bermain di level internasional. hal ini bisa terjadi, manakala persoalan “domestik” NU terhadap kader-kadernya telah tuntas.
Friksi Tajam Jelang Muktamar
Sebagai catatan penutup, dinamika dan friksi sangat tajam menjelang muktamar harus dicermati serius. Friksi ini terkonsentrasi pada para pendudkung KH Said Aqil Siraj dan Yahya Cholil Tsaquf. Friksi jelang Muktamar Ke-34 di Lampung ini agak unik jika dibandingkan dengan friksi serupa jelang Muktamar Cipasung (1994), ataupun friksi Cipete-SItubondo, jelang Muktamar Ke-27 (1984). Friksi jelang Muktamar Cipasung muncul akibat intervensi luar biasa rezim Orba (state) dengan misi menolak Gus Dur, simbol kekuatan LSM (society) menjabat kembali sebagai Ketua Umum PBNU. Kala itu, semua kekuatan mainstream NU berada dalam satu barisan melawan musuh Bersama, yakni Abu Hasan, boneka Orba. Sedangkan friksi antara Cipete versus Situbondo, berawal dan bermuara pada kelompok kiai yang "keukeuh" membawa NU berada di PPP melawan kiai-kiai yang menghendaki NU kembali ke khittah. Baik friksi jelang Muktamar Cipasung maupun Muktamar Situbondo, sama-sama menempatkan para kiai sebagai pelaku utama.
Sementara friksi jelang Muktamar Ke-34 Lampung didominasi para politisi lintas partai. Hal ini membuat banyak pihak masygul. Keterlibatan, bahkan kebebasan para politisi mengacak-ngacak perhelatan jelang Muktamar Lampung adalah hal yang ahistoris dan menyimpang dari garis perjuangan dibentuknya NU. Disebut ahistoris karena dalam sejarahnya NU adalah gerakan kebangkitan yang diprakarsai para kiai, bukan politisi. Disebut menyimpang karena NU bukan tempat para politisi berkiprah dengan praktik dan kiprah wajarnya politisi berpolitik. Wallahu a’lam.
*) Dr. Moh Sholeh-Basyari , Dosen Pascasarjana Insuri Ponorogo dan Direktur Ekskutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), Jakarta
Load more