Tentara Israel tiba tiba menembaki kerumunan warga Palestina yang tengah antre di sekitar truk yang memberikan bantuan makanan yang sejak Januari 2024 tak pernah datang lagi. Banyak bayi meregang nyawa karena perutnya tak disumpal susu dan makan. Kelaparan dan kekurangan gizi akut mendorong kaum perempuan dan sebagian besar anak anak menyerbu truk bantuan kemanusiaan. Ini dipahami sebagai ancaman dan dijawab dengan berondongan senjata. Ratusan warga sipil tewas, terutama perempuan dan anak anak.
Rumah sakit dan kawasan pengungsi justru jadi wilayah tak aman. Kita tahu rumah sakit-rumah sakit di Palestina (juga rumah sakit Indonesia) dikepung, dihujani bom dengan brutal. Bantuan obat obatan dihentikan, listrik untuk mengoperasikan alat alat medis dan aliran air bersih dimatikan. Pasien berguguran satu persatu dalam pelukan tenaga medis yang tak bisa lagi melakukan apapun. Bahkan tak sedikit tenaga medis yang jadi sasaran peluru tentara Israel.
(Warga Palestina mengeluarkan puing-puing kendaraan bantuan kemanusiaan yang rusak berat akibat serangan udara Israel yang mengakibatkan sembilan orang tewas dan puluhan luka-luka, di Deir al-Balah, Gaza, Palestina, Minggu (3/3/2024). Sumber: ANTARA)
Skala kekejaman terus ditambah: tentara Israel menyamar sebagai tenaga medis menembaki pasien pasien di dalam rumah sakit di Jenis, Palestina. Dengan senapan otomatis berperedam, serangan jelas sangat “efektif”: pemuda pemuda Palestina –yang tengah dalam perawatan itu— berguguran.
Bahkan jenazah pun tetap tak aman. Mereka mencuri jenazah-jenazah di jalan, memutilasi dan mengambil organ-organ penting dari jasad warga warga Palestina yang meninggal dunia.
Dengan nalar apa fakta-fakta ini kita pahami, kecuali yang tengah berlangsung di Palestina adalah sebuah pembersihan etnis alias genosida.
Namun, sejarah dunia tetap menyimpan harapan. Afrika Selatan, negeri yang pernah menderita akibat politik apartheid, mengajukan gugatan kejahatan perang atas genosida Israel pada Palestina di Mahkamah Internasional. Afsel maju menggugat Israel justru karena pernah senasib, merasakan betapa jahatnya hidup berdasarkan pemisahan pemisahan kelompok ras dan perkauman.
Load more