PERLU sedikit keringat untuk mencapai makam bapak. Setelah satu jam perjalanan dari pusat kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menuju makam bapak di Cimaragas, Ciamis, yang berada sedikit di ketinggian, pada sepetak tanah lapang di kaki bukit kecil yang penuh dengan rerimbunan pohon jati. Saat saya berkunjung akhir pekan lalu, nampak daun-daun jati tengah lebat-lebatnya karena musim hujan.
Meski hari merambat siang, hawa tetap sejuk. Selain karena rimbunya daun jati, barangkali karena sisa hujan semalaman yang menguap ke udara.
Saya memang seperti selalu ingin berlama-lama di makam bapak. Sebabnya, barangkali saya seperti mengunjungi sebagian diri saya yang selalu tertinggal di kompleks pemakaman keluarga ini. Nyekar ke makam bapak, bagi saya mengingatkan, menyadarkan banyak hal. Terutama, melunakkan dan melembutkan hati. Karenanya sebisanya saya selalu melibatkan anak-anak dan keluarga saat ziarah ke makam bapak.
Ada rasa tenang, percaya diri, lega setelahnya. Setelah bertemu bapak, baterai diri seperti penuh lagi, siap berjibaku dengan kenyataan-kenyataan hidup. Semua beban terasa sepele, setelah ketenangan diri telah pulih.
Ada rahasia lain sebenarnya: saya selalu merasa bapak tak pernah pergi. Ia tetap ada di sekeliling, tak meninggalkan saya. Alam kami tetap sama. Saya misalnya, seperti bisa menatap sorot matanya yang teduh namun tegas. Bicaranya yang tenang tapi bernada agak tinggi. Gesture tangannya saat berbicara. Hingga runtutnya logika pemikiran bapak.
Saya biasanya memulai percakapan dengan bertanya keadaan masing-masing. Saya akan bercerita bagaimana situasi hidup yang sedang saya alami. Di makam bapak, air mata atau senyuman tak bisa ditahan, semua akan muncul dengan sendirinya.
Saya memang tumbuh sebagai laki-laki dewasa dengan pengaruh dan bayang-bayang besar dari bapak. Jika ibu membentuk karakter, bapak lah sebenarnya yang membentuk pola pikir.
Dari bapak misalnya saya belajar, menyikapi segala sesuatu dengan ketenangan. Tidak grabag-grubug. Filosofinya, tak gampang terpancing, tidak reaksioner. Sesekali memang saya melihat bapak amat marah, bahkan marah besar untuk sesuatu yang bapak anggap prinsip. Selebihnya, bapak terlihat sebagai sosok pendiam, bisa menyimpan segala sesuatu —termasuk masalah beşar— hanya untuk dirinya.
Aspek lain yang kini saya tahu, itu pengaruh dari bapak adalah kegiatan sosial. Saya selalu punya aspek publik, kolektif, mengurusi kehidupan bersama, entah di masjid terdekat atau di lingkungan RT dan RW, karena melihat bapak yang selalu ada waktu untuk urusan orang banyak.
Ziarah ke makam bapak jelang Ramadhan juga mengingatkan pada kenangan-kenangan indah lainnya saat kecil di kampung. Salah satu yang paling saya ingat adalah 'ngabedahkeun balong' (menguras air kolam).
Saya bersama kakak dan teman sekampung terjun ke kolam menangkap ikan yang telah dipelihara sebelumnya di kolam ikan yang sampai hari ini kolamnya masih ada dan nyata. Saya memang termasuk tidak lihai menangkap ikan jika dibandingkan dengan teman saya yang tangannya di dalam air seperti memiliki mata, dalam sekejap ia bisa mengumpulkan banyak ikan. Tapi, kegembiraan saat itu tak bisa dilukiskan kata-kata.
Biasanya tradisi ini kami sudahi dengan mandi keramas beramai-ramai di sungai yang airnya jernih (walungan) atau pancuran di kolam. Dengan menggunakan jerami padi, kami membasuh rambut dan sekujur badan dengan ritual yang sering disebut mandi taubat.
Saat pulang ke Tasik, ritual lain yang tak boleh ketinggalan adalah long run, lari jarak jauh.
Sejak sepuluh tahun belakangan, saya selalu menyertakan lari sebagai terapi mengenali diri sendiri. Seperti seorang rahib di tempat ibadah yang berkhalwat, pelari di jalanan sebenarnya juga sedang memuji kebesaran Tuhan dengan caranya. Dengan berlari, saya berkontemplasi. Merenung, mengukur semua pencapaian dan kegagalan dalam hidup. Saat berlari dalam kilometer di atas 21 kilometer, kita memang tinggal berhadapan dengan diri sendiri. Situasi ambang ini yang membuat kita jadi mempertanyakan kembali banyak hal dalam hidup.
Biasanya, setelah nyekar dan lari jarak jauh, saya merasa siap memasuki sekolah kehidupan tahun ini yang akan segera tiba: Ramadhan. Saya merasa siap digembleng, dibentuk, diingatkan lagi dengan berbagai ibadah yang padat dari bangun tidur hingga tidur kembali selama sebulan penuh.
Ramadhan adalah waktunya menoleh ke dalam. Setiap Ramadhan datang saya selalu punya peluang memperbaiki lagi semua mutu kehidupan rohani saya.
Tak ada ibadah yang sangat privat dan rahasia, seperti puasa di bulan Ramadhan. Tak ada satupun makhluk yang tahu seseorang tengah berpuasa, kecuali yang bersangkutan itu sendiri.
Kita bisa saja tampil lemah, lesu, lunglai mengesankan tengah berpuasa. Atau, sebaliknya, kita bisa pula beraktivitas fisik saat hari tengah panas-panasnya seperti tidak sedang menjalankan puasa. Tak ada yang tahu. Hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu ia tengah berpuasa atau tidak.
Sholat lebih utama jika dilakukan secara berjamaah; zakat harus dilakukan dengan berinteraksi dengan amil dan fakir; haji dilakukan secara bersama sama dengan orang banyak; tapi puasa hanya kita dan Tuhan saja yang mengetahui.
Saat kita berpuasa, barangkali Tuhan tak ingin diduakan dengan manusia. Tuhan benar-benar ingin makhluknya hanya menyembah, tunduk, beribadah hanya untuk Allah SWT.
Bahkan, sebuah hadis qudsi (firman Allah yang kalimatnya dari Nabi) menyebut, puasa adalah “milik” Tuhan dan Tuhan pulalah yang akan menanggung pahalanya.
Kita melihat kejujuran, otentisitas, keaslian jadi hal yang utama untuk diasah terus menerus saat Ramadhan. Pasalnya, kita tahu sepenuhnya kehadiran Allah SWT dalam hidup, di mana saja, kapan saja. Dalam situasi apapun dan bagaimanapun.
Sikap teguh mempertahankan puasa akan menghidupkan kembali sikap takwa.
Seorang ulama terkenal abad 9 Hijrah, Imam Qusyairi, penulis kitab “Risalah Qusyairiyah”, menguraikan kata “taqwa” menjadi untaian abjad yang berkenaan dengan watak dan sifat manusia terpuji hasil gemblengan berpuasa di bulan Ramadhan.
Huruf pertama “Ta” dari Takwa menggambarkan sikap tawadhu, rendah hati. Dengan berpuasa kita sadar, akan kelemahan dan keterbatasan kita sebagai makhluk.
Huruf “qaf” dalam Taqwa mengandung arti qana’ah. Merasa cukup oleh apa yang telah diberikan, baik oleh Allah SWT maupun sesama manusia. Tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada. Rela menerima apa adanya, sehingga selalu merasa cukup. Bukankah definisi orang kaya adalah orang yang hidupnya cukup. Orang miskin adalah orang yang selalu merasa kurang.
Huruf "wawu,” dalam Takwa mengandung arti "wara". Sikap apik, bersih. Terpelihara dari hal-hal menjijikan, kotor, najis, dan haram. Dari yang syubhat saja dirinya terpelihara, apalagi yang haram.
Yang terakhir huruf "ya" dari Takwa adalah sikap yakin. Seorang yang bertakwa memiliki sikap yakin dalam hidup. Puasa membentuk keyakinan. Jika bukan karena yakin akan sulit menahan lapar di tengah banyaknya makanan.
Demikian, saya gembira masih bisa bertemu Ramadhan di 2024. Saya senang bakal mendaki puncak-puncak kenikmatan spiritual selama sebulan penuh lamanya. Semoga kita semua dapat lancar dalam menjalankan ibadah puasa, bisa meraih kemenangan dan Insya Allah meraih ketakwaan. Amin. Marhaban ya Ramadhan.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more