DAHULU kita mengenal aksi bunuh diri untuk sebuah protes. Sukardal, tukang becak di Bandung mengakhiri hidupnya di usia ke-53 dengan gantung diri di pohon tanjung. Alasannya jelas: becak satu satunya sumber penghidupannya disita petugas Satpol PP Bandung.
Ia melihat becaknya diangkut mobil Satpol PP. Menggandul pada mobil, ia terus berteriak: “Saya mau bunuh diri… Saya mau bunuh diri,” ujar Sukardal dengan suara parau.
Esok paginya ia membuktikan teriakannya. Ia ditemukan tewas gantung diri di bawah pohon tanjung di Jalan Ternate, Bandung. Pada tembok berukuran satu setengah meter tak jauh dari pohon tanjung Sukardal menulis kalimat (lalu dihapus polisi): “Saya gantung diri karena becak saya dibawa anjing tibum".
Sukardal bunuh diri dengan sebuah alasan yang jelas: perlawanan.
Namun hari-hari ini yang mati sebelum waktunya, yang kita dengar dan baca di media massa, baik melakukannya sendiri maupun berkelompok dalam keluarga, semakin tak terbaca lagi alasannya.Maka kita cemas menyaksikan angka-angka bunuh diri yang merangkak naik setiap tahun. Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri mencatat sejak 1 Januari hingga 15 Desember 2023 angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1.226 jiwa. Atau rerata setiap hari sedikitnya 3 orang melakukan bunuh diri di Indonesia. Padahal pada 2022 hanya 902 orang, dan pada 2021 hanya sebanyak 629 orang.
Lebih masygul data-data itu bukan mewakili realitas sebenarnya. Yang terjadi diduga jauh lebih tinggi dari pada yang ditera. Semacam fenomena puncak gunung es. Soalnya, dalam masyarakat komunal Indonesia, bunuh diri dianggap aib dan tak ingin dilaporkan ke polisi.
Tak heran jika hasil penelitian “Indonesia’s First Suicide Statistics Profile: An Analysis of Suicide and Attempt Rates, Underreporting, Geographic Distribution, Gender, Method and Rurality,” terbit Februari 2024 mengungkap fakta, Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859 persen.
Yang tercatat hanyalah kasus besar yang tak bisa lagi ditutupi. Terbaru, kasus bunuh diri satu keluarga yang melibatkan orang tua dan dua anak remaja yang melompat dari lantai 22 sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara.
Mirisnya, dalam insiden itu korban ditemukan saling terikat tali secara berpasangan. Kepolisian menduga ada unsur pembunuhan: kedua anak dipaksa untuk melakukan bunuh diri.
Demikian, maraknya kasus bunuh diri jadi masalah sosial yang mengkhawatirkan belakangan. Fenomena ini sangat kompleks, menyangkut dinamika psikososial, isolasi, depresi, kecemasan hingga tekanan ekonomi.
Soal motif yang semakin random memang sebuah fenomena baru. Polisi hingga kini misalnya tak bisa mengusut alasan bunuh diri satu keluarga di Perumahan Citra Garden Kali Deres, Jakarta Barat meski semua barang bukti yang disita dari rumah (termasuk buku-buku catatan) sudah ditelisik, sejumlah saksi-saksi diperiksa, kamera pengintai di sekitar lokasi kejadian dipelototi, tetap belum bisa mengungkap motif bunuh diri keempat orang dalam satu rumah diduga secara nyaris berbarengan.
Meski tak semuanya lalu tak terlacak motifnya. Sebagian besar bermotif kesulitan keuangan dan utang piutang. Seorang guru di Malang, Jawa Timur misalnya nekat mengakhiri hidup bersama istri dan seorang anaknya berumur tujuh tahun. Ketiganya lalu ditemukan oleh anak tertuanya tak bernyawa di dalam rumah. Dalam penyelidikan, hutang puluhan juta yang tak bisa ditanggung diduga jadi alasan bunuh diri.
Dalam hal bunuh diri, nampak sekali ada kerapuhan psikis, namun tetap ada alasan personal setiap pelaku yang sulit terungkap.
Kematian ibu dan anak, Grace Arijani Harahap (64) dan David Ariyanto (38 tahun) di Cinere, Depok Oktober tahun lalu misalnya memang akibat sang ibu sakit jantung. Namun, pemeriksaan polisi menyebutkan sang anak sangat terpengaruh pada gaya hidup minimalis Jepang. Mereka diduga secara sengaja mengurangi asupan gizi terus menerus, sampai akhirnya memutuskan mengakhiri hidup bersama dengan berdiam diri dalam toilet yang sempit.
Agaknya miris jika kita memang telah meniru Jepang perkara pelapukan mental. Negeri matahari terbit ini memang dikenal dunia sebagai Nation of Suicide, atau bangsa yang gemar merayakan bunuh diri. Di Jepang hampir segala tempat menjadi lokasi favorit untuk bunuh diri, pada atap sebuah apartemen, pegunungan, hutan, hingga karang di pantai.
Tradisi harakiri dilakukan dengan banyak cara, mulai merobek perut dengan pedang (seppuku), minum racun, menyongsong berondongan peluru hingga menabrakan pesawat (kamikaze). Motifnya beragam, menjaga kehormatan diri, ungkapan rasa malu, kesetiaan pada atasan atau pemimpin, ekspresi nasionalisme, hingga kekosongan jiwa dan depresi.
Tapi orang Indonesia tak pernah marak melakukan bunuh diri, bahkan di saat-saat terburuknya. Orang Indonesia terbiasa pasrah, nrimo, sumarah dengan nasib seberapa pun apesnya.
Bukankah kita mengenal diksi, “beruntungnya” dalam ungkapan orang Jawa saat terjadi bencana atau celaka karena besarnya rasa syukur pada kehidupan. Bukankah situasi paceklik di zaman Jepang justru melahirkan kreativitas pengolahan teknologi pangan yang melahirkan makanan sejenis, gaplek dan tiwul.
Namun, kenapa belakangan daya tahan warga dan keluarga semakin rapuh dan bunuh diri dianggap jalan keluar? Sudah sedemikian parahkah tingkat kesehatan mental warga kita?
Indonesia termasuk negara yang belum memiliki studi dan kebijakan mendalam dan menyeluruh tentang bunuh diri. Harusnya, minimal kita punya catatan data riil tentang kematian akibat bunuh diri bukan hanya laporan polisi.
Selanjutnya, negara merancang kebijakan menyeluruh soal kesehatan mental. Misalnya memberikan anggaran untuk sistem dukungan sosial, serta perluasan akses kesehatan jiwa berbasis komunitas yang lebih besar, di tingkat keluarga atau masyarakat. Dengan kata lain, tak bisa persoalan kesehatan mental hanya diserahkan penanganannya pada panti-panti sosial atau rumah sakit jiwa.
Perkara bunuh diri harusnya jadi agenda bersama. Penulis novel peraih Nobel, Albert Camus pernah mengatakan, "Hanya ada satu masalah filosofis yang sungguh-serius, dan itulah bunuh diri". Pernyataan ini diambil dari esainya yang berjudul "The Myth of Sisyphus." Dalam esai tersebut, Camus menyebut hidup memang tanpa makna, namun bunuh diri tidak memberikan solusi. Alasannya, kematian tidak memiliki makna yang lebih dalam daripada hidup itu sendiri.
Menghadapi hidup yang absurd, Camus punya saran yang sederhana: keluarlah, nikmati matahari, jalan-jalan di pantai, main sepak bola, makan siang dengan teman-teman, dan jangan menyerah.
Perkara bertahan dan jangan menyerah, agama mengajarkan soal beriman dan menumbuhkan harapan. Saya ingat, orang bijak pernah berkata, penderitaan sebenarnya adalah ketika kita kehilangan kepercayaan diri dan harapan.
Karena beriman adalah ikhtiar menumbuhkan harapan terus menerus. Dengan kata lain, hilangnya harapan adalah indikasi tidak adanya iman. Orang yang tak berpengharapan adalah orang yang tak menaruh kepercayaan pada Allah SWT. Dalam kitab suci kita diperingatkan, “Janganlah kamu berputus asa dari kasih Allah, sebab sesungguhnya tidak lah berputus asa dari kasih Allah kecuali kaum yang kafir” (QS.Yusuf/12:87).
Bukankah salah satu keharusan iman adalah sikap berbaik sangka kepada Tuhan? Dalam sebuah hadist qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW pernah berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman,’Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku’”.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more