TAK semua warisan kolonialisme selalu buruk. Saya bisa menunjukan kebenaran kalimat tersebut di wajah sepak bola nasional kita yang perlahan lahan menapaki jalur yang benar berkat kebijakan naturalisasi yang begitu kencang dipraktikan “duet maut” kepemimpinan Erick Thohir dan Shin Tae yong.
Apa boleh buat, naturalisasi kini dianggap jamak dalam sepak bola modern. Kini konsep nasionalisme sebagai komunitas imajiner —-meminjam istilah dari Benedict Anderson dari Cornell University, Amerika serikat-- batasnya pada lapangan hijau semakin cair.
Berbangsa yang menurut Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind sebuah mitos bersama, perlahan lahan konsepnya memudar di dunia sepak bola dengan konsep naturalisasi.
Kini kita tahu, berbangsa, nasionalisme, kewarganegaraan di lapangan hijau jadi pilihan pilihan cair berdasarkan pertimbangan dan kepentingan bersama yang rasional.
Lihat saja, kebijakan naturalisasi pemain dilakukan oleh hampir semua tim nasional kaliber dunia, seperti Brazil, Jerman, Italia, Rusia, Belgia, Portugal, Spanyol, Belanda hingga Jepang.
Kita tahu Amerika Latin adalah bekas jajahan negara-negara Iberia (Spanyol). Anehnya, banyak sekali pemain dari Brasil, misalnya yang justru lebih memilih membela bekas penjajahnya daripada mengenakan seragam tanah airnya sendiri. Anderson Luis De Souza misalnya lebih memilih membela Timnas Portugal daripada Brazil. Ada Diego Costa yang juga lebih memilih mengibarkan panji Timnas Spanyol daripada kibarkan bendera Brasil.
Robert Lewandowski tak mempan untuk dibujuk membela timnas Jerman. Ia lebih memilih membela Polandia. Sebaliknya, Lukas Podolski yang notabene berdarah Polandia lebih memilih untuk membela Timnas Jerman.
Selain itu ada sekian pemain naturalisasi lain dari imigran yang memperkuat tim Der panzer, seperti Mehmet Scholl, Mesut Ozil, Emre Can, Sami Khedira, Skodran Mustafi hingga Ilkay Gundogan.
Timnas Perancis bisa jadi skuad paling berwarna secara ras, warna kulit dan kebangsaan di Piala Dunia. Pada Piala Dunia 2022, Jepang membawa lima pemain naturalisasi, termasuk Alessandro Dos Santos hingga Daniel Schmidt.
Jadi jika kini pemain skuad Garuda banyak didominasi dengan pemain naturalisasi dari Belanda adalah sebuah kewajaran akibat sejarah kolonialisme yang mempertautkan Indonesia dengan Belanda. Bukankah timnas Belanda juga cukup banyak punya pemain keturunan Indonesia, khususnya Maluku, setidaknya sejak era Simon Tahamata hingga Giovanni Van Bronckhorst.
Di Asia Tenggara, negeri serumpun yang berhasil menerapkan secara gemilang naturalisasi sebagai pendongkrak prestasi dengan cepat adalah Singapura dan Filipina.
Pada mulanya kekuatan sepak bola di Asia Tenggara didominasi oleh negara-negara seperti Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Namun, terhitung sejak era 2000 an, Singapura juga ikut merangsek sebagai kekuatan baru di ASEAN. Bahkan Singapura sudah tiga kali jadi juara Piala AFF setelah diperkuat pemain naturalisasi.
Filipina lebih ekspansif dalam merekrut pemain naturalisasi. Ada 21 pemain naturalisasi dari total 26 nama skuad Timnas Filipina untuk Kualifikasi Piala Dunia 2026. Filipina membentuk unit khusus untuk menjaring bakat pemain naturalisasi maupun keturunan. Bahkan tim yang diberi nama Azkals Development Team (ADT) turut berlaga resmi di kasta utama Liga Filipina saat ini.
Dengan kata lain, langkah Indonesia merekrut banyak pemain naturalisasi untuk membangun timnas sepak bolanya sejauh ini cukup tepat. Lihat saja pertandingan di Stadion My Dinh, Hanoi pada Selasa, (26/03/2024) lalu ketika timnas Indonesia bermain sangat magis. Menang tebal tanpa balas mengulang catatan 20 tahun lalu pada pertandingan Piala AFF 2004 ketika clean sheet juga terjadi di kandang lawan yang dikenal memiliki suporter militan.
Dan pemain dari berbagai bangsa itu membuktikan mereka layak mengenakan lencana Garuda di dadanya, sama dengan pemain lokal manapun dalam membela negeri ini. Media asing, seperti Hankooki menyebut “ada semangat baru yang mengental di timnas Indonesia”. Pemain dengan sangat disiplin membangun pertahanan dua baris yang rapat, ada konsistensi sepanjang pertandingan dalam membuat jarak antar pemain, memiliki transisi yang sangat cepat ketika bertahan dan menyerang. “Yang belum pernah ada sebelumnya adalah umpan umpan yang akurat,” tulis Hankooki.
Demikian, sebuah identitas sepak bola modern Indonesia telah lahir, sebuah ciri yang sebenarnya mulai terlihat jejak jejaknya dengan jelas sejak Timnas Indonesia maju ke babak 16 besar pada Piala Asia 2023 lalu.
Yang tak bisa ditampik adalah warna baru itu dibawa oleh pemain pemain naturalisasi grade A. Yang sangat berbeda dengan naturalisasi gelombang pertama, seperti di era Cristian Gonzales dkk adalah pemain pemain naturalisasi seperti Jay Idzes, Thom Haye hingga Ragnar Oratmangoen memang pemain tepat guna yang dibutuhkan timnas Indonesia. Thom dan Ragnar, misalnya adalah pemain-pemain reguler di klub Eredivisie Belanda. Thom bersama SC Heerenveen dan Ragnar adalah pemain yang sedang dipinjam Fortuna Sittard dari klubnya Groningen FC.
Mesti diingat, Thom adalah juara piala Eropa U-17 tahun 2011 dan 2012 bersama Belanda. Di negeri tulip itu, ia menjadi langganan masuk skuad timnas kelompok umur, mulai U-15,U-16,U-17,U-18,U-19,U-20 dan U-23. Ragnar juga telah tampil 25 kali di semua kompetisi musim ini dengan satu asis. Bahkan semasa membela Go Ahead Eagles pada musim 2021/2022 ia pernah mengalahkan Ajax Amsterdam saat masih ditukangi Erik ten Hag.
Bagaimanapun “semangat baru” ini tak bisa muncul tanpa orkestrasi yang menyeluruh dari Ketua Federasi: Erick Thohir.
Harus diakui Ketua PSSI Erick Thohir sangat berperan sehingga wajah baru timnas Indonesia ini lahir. Perannya terasa sekali dengan jadi jembatan yang baik dengan pihak legislatif, terutama dengan unsur pimpinan Komisi X dan Komisi III.
Hasilnya, proses naturalisasi sejak usulan hingga pengambilan sumpah WNI yang biasanya berjalan lambat, bisa dikebut sangat cepat. Dalam setahun kepemimpinan Erick Thohir di PSSI, tercatat ada delapan pemain naturalisasi.
Sejumlah usulan naturalisasi berikutnya juga tengah diproses. Di sini Erick Thohir kembali sangat berperan. Ia benar benar memiliki reputasi di sepak bola dunia. Dengan jaringan internasionalnya ia tampak mudah menemukan pemain yang pas. Juga yang tak kalah rumit, meyakinkan pemain yang memiliki latar belakang dan sepak terjang Internasional yang baik, seperti Thom Haye dan Ragnar Oratmangoen untuk mau menerima tawaran naturalisasi.
Naturalisasi membuat banyak hal di lapangan sepak bola menjadi mungkin. Ekosistem sepak bola menjadi lebih adil. Permainan ini menjadi lebih seru dan mendebarkan. Seperti teknik mengembangbiakan tanaman dengan okulasi, ia menjanjikan semuanya: tanaman yang baik dan buah yang berkualitas dalam waktu yang relatif pendek.
Namun, tak ada rumus yang sempurna, final dan paling jitu untuk diterapkan terus menerus di segala situasi. Harus diingat, naturalisasi memang baik untuk mengejar pencapaian prestasi secara cepat. Pencapaian penting untuk memberi kepercayaan diri pada sebuah bangsa.
Tinggal program ini perlu dibarengi dengan langkah pembinaan atlet jangka panjang untuk mengambangkan talenta lokal. Simultan dengan pembangunan timnas yang modern, Erick Thohir tetap harus membangun akademi-akademi sepak bola yang masif dan berkualitas. Pengelolaan klub dan kompetisi dibenahi menyeluruh.
Demikian, barangkali tak semua yang kita warisi dari kolonialisme itu buruk. Dan di cabang sepak bola kita melihat berkah itu. Kita melihat pembangunan sepak bola Nasional telah berada di rel yang benar. Dengan perkembangan ini, kita bisa berharap, semoga Indonesia bisa segera berlaga di ajang Piala Dunia dan, menurut saya, melihat apa yang telah dicapai timnas Garuda besutan Shin Tae yong sepertinya hal itu bukan sesuatu yang mustahil. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more