Pada awalnya memang hanya sebuah dorongan berolah raga ketika saya merasa hidup saya semakin tak sehat: berat badan saya pernah meledak jauh dari angka ideal dibandingkan tinggi badan saya. Problem ikutan lain muncul: saya mudah sekali merasa lelah. Saya kerap dikurung stress dan sukar keluar dari tekanan itu. Saya ingin memutuskan lingkaran setan gaya hidup yang tak sehat itu. Lantas olah raga apa?
Saya sebenarnya bisa memilih olah raga beregu, tapi agaknya waktu akan terlampau banyak untuk mencocokan jadwal antar pemain. Itu akan cukup sulit bagi saya yang tak memiliki banyak kuasa atas waktu. Saya benar benar memasrahkan waktu saya dibagi bagi untuk banyak urusan, sejak pekerjaan kantor, aktivitas sosial, hingga urusan domestik.
Atau bisa jadi saya memang seorang penyendiri, lebih tepatnya saya sulit jika berolah raga untuk sebuah pertarungan dengan orang lain. Di lapangan apapun saya cenderung tak peduli dengan pencapaian orang lain. Saya termasuk terlalu fokus pada diri sendiri.
Saya merasa cocok dengan berlari karena memberikan ruang sangat besar untuk diri sendiri. Ternyata lari memberikan daya fokus untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk saya sendiri.
Namun, setelah menekuninya, ternyata lari sudah bukan ihwal mengeluarkan hormon endorphin semata, ia juga sebuah pembuktian bagi diri sendiri. Saya tak hanya berlari menyelesaikan 42,195 kilometer, saya kini akan segera menamatkan "Enam Bintang" alias menjadi Six Star Finisher di kota yang sangat artistik ini: Boston.
Lantas, terbayangkan segala upaya hingga saya ada di titik ini. Saya harus meninggalkan keluarga saat perayaan Idul Fitri yang baru saja usai. Saat gema takbir berkumandang, saya justru ada di pesawat terbang ribuan kilometer ke negeri di Utara. Belum dihitung besarnya energi dan uang yang harus saya keluarkan (pada Boston Marathon saya jadi peserta lewat jalur amal).
Load more