Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024, pada Senin (22/04/2024), MK menyatakan permohonan pemohon "tidak beralasan menurut hukum seluruhnya".
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan bahwa berkas gugatan PDIP terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah lengkap dan siap untuk disidangkan. Adapun sidang perdana digelar pada 2 Mei 2024.
Berdasarkan hal diatas, timbul pertanyaan kritis:
Apakah keputusan PTUN dapat menimbulkan implikasi hukum atau dapat mempengaruhi putusan MK? Apakah keputusan tersebut dapat membatalkan penetapan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024?
Pada pokoknya ada empat Petitum yang dimintakan oleh PDIP kepada PTUN yaitu:
* Menunda pelaksanaan Keputusan KPU no 360 tahun 2024.
* Memerintahkan KPU untuk tidak melakukan/menerbitkan keputusan apapun sampai dengan adanya putusan yang bersifat tetap.
* Mencabut Keputusan KPU no 360 tahun 2024.
* Mencabut dan mencoret pasangan Prabowo-Gibran.
Pada sidang perdana di PTUN Jakarta Kamis 2 Mei 2024, yaitu pemeriksaan kelengkapan administrasi, PDIP diminta mengubah isi petitum gugatan dugaan perbuatan melawan hukum oleh KPU dari petitum semula, meminta PTUN membatalkan penetapan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Paslon Capres-Cawapres.
KPU dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres di Pilpres 2024. PDIP kini meminta PTUN menyatakan KPU sebagai pejabat negara melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran Gibran.
Dari situ, PDIP akan mendorong MPR mempertimbangkan putusan itu untuk membatalkan pelantikan Prabowo-Gibran sebagai capres dan cawapres terpilih.
Hal ini dimintakan karena di anggap KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas dengan ini penulis sampaikan ulasan secara komprehensif dan dengan prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:
Objek sengketa dalam proses mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang no 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan itu berbunyi:
"Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata."
Dari ketentuan yang tersebut ditemukan unsur-unsurnya dalam penjelasannya sebagai berikut:
- Penetapan tertulis.
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
- Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
- Bersifat Konkret, Individual, dan Final
- Menimbulkan Akibat Hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Pasal 2 dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut mengatur ketentuan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU ini: (7) Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Bidang: Pertanahan, Kepegawaian, Perizinan, Linkungan Hidup, Pengadaan Barang dan Jasa, Keputusan Kepala Desa, Pemilu, Ketenagakerjaan, Informasi Publik, Tindakan Pemerintah, dan Penyalahgunaan Kewenangan.
Sepanjang menyangkut sengketa pemilu, dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh penguasa dapat dijelaskan bahwa:
UU No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilu, sebagai Lex Specialis telah mengatur mekanisme penyelesaian Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu, secara singkatnya sebagai berikut:
- Pelanggaran kode etik Penyelenggaraan Pemilu diselesaikan oleh DKPP. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
- Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu oleh Bawaslu.
Upaya Hukum selanjutnya ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di Bawaslu, upaya Hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara dilakukan setelah upaya Administratif di Bawaslu telah digunakan. Putusan pengadilan tata usaha negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden diselesaikan oleh MK, putusan MK bersifat final, mengikat dan Erga Omnes.
Menurut Perma Nomor 2 Tahun 2019 maka semua sengketa TUN wajib diselesaikan melalui Upaya Administratif menurut ketentuan pasal 78, Pasal 79 UUAP, namun dikecualikan dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2021 disebutkan bahwa apabila gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa di mana Badan atau Pejabat pemerintah tidak mengeluarkan Keputusan maka tidak perlu mengajukan keberatan akan tetapi dapat langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasangan Ganjar-Mahfud mengikuti seluruh tahapan Pilpres di KPU mulai dari awal termasuk pada saat mengikuti tahapan pengambilan nomor pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, tahapan debat calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah lima kali digelar oleh KPU dan diikuti oleh seluruh Paslon 03.
Dari seluruh tahapan rangkaian pemilu yang berjalan, Paslon 03 sama sekali tidak pernah mengajukan keberatan apa pun kepada Bawaslu, sehingga Paslon 03 dianggap membuat kesepakatan secara diam-diam (tacit consent) yang di dalam Hukum Perdata disebut sebagai persetujuan diam-diam, dan juga telah melakukan rechtsverwerking sangat dikenal dalam hukum adat dan yurisprudensi, khususnya dalam perkara perdata sengketa tanah.
Asas tersebut dapat diartikan sebagai hilang atau lepasnya hak seseorang karena tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Hal ini sebagai konsekuensi berlakunya asas presumtio iuste causa (asas praduga rechtmatig). Dalam hukum administrasi negara, lazim dikenal asas presumptio iustae causa, atau yang dalam bahasa Belanda disebut het vermoeden van rechtmatigheid.
Pada intinya, prinsip ini bermakna bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara/pemerintahan dianggap sah menurut hukum.
Keputusan itu baru dianggap tidak sah apabila sudah diputuskan tidak sah oleh pengadilan, artinya ada putusan pembatalan (vernietiging) dari pengadilan yang berwenang.
Doktrin hukum administrasi negara banyak menyinggung asas ini.
Menurut Ridwan HR (2017), konsekuensi asas ini adalah pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat ditunda pelaksanaannya meskipun ada keberatan (bezwaar), banding (beroep), perlawanan (bestreden) atau gugatan terhadap suatu keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan tersebut.
Menurut Indroharto, bertentangan tidaknya suatu keputusan dapat menjadi dasar untuk menguji suatu keputusan tata usaha negara. Suatu penetapan tertulis dapat dianggap bertentangan dengan peraturan perundang- undangan apabila:
(1) badan atau jabatan yang menerbitkan keputusan tidak mempunyai wewenang;
(2) ada wewenang dalam perundang-undangan,tetapi sebenarnya bukan diberikan kepada instansi yang menerbitkan keputusan;
(3) keputusan yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan yang menjadi dasar wewenang;
(4) peraturan yang menjadi dasar penerbitan keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
(5) penetapan yang disengketakan diterbitkan secara menyimpang dari prosedur yang harus diterapkan.
Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bawa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
Ketentuan di atas merefleksikan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya secara publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara. Asas putusan MK berkekuatan hukum tetap dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Asas putusan mengikat secara erga omnes tersebut di atas tercermin melalui kalimat sifat final dalam putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Erga omnes berasal dari bahasa latin yang artinya berlaku untuk setiap orang (toward every one).
Asas erga omnes atau perbuatan hukum adalah berlaku bagi setiap individu, orang atau negara tanpa perbedaan (A erga omnes law or legal act applies as against every individual, person or state without distinction). Suatu hak atau kewajiban yang bersifat erga omnes dapat dilaksanakan dan ditegakkan terhadap setiap orang atau lembaga, jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut atau tidak memenuhi suatu kewajiban.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, dengan kata lain tidak ada upaya hukum lain. Mengenai sifat final putusan MK juga ditegaskan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan di atas maka putusan MK bersifat final yang berarti:
(1) secara langsung memperoleh kekuatan hukum,
(2) karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini menunjukkan bahwa putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan putusan MK.
(3) karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan yang apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperolah kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habeteur).
Tegasnya, putusan MK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan serta merta memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Putusan MK merupakan putusan declaratoir, constitutief. Putusan declaratoir berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.
Putusan constitutief adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.
Dengan demikian, putusan MK merupakan "Ultimate Decision" yang tidak dapat diubah dengan keputusan dari pengadilan apapun, termasuk PTUN.
Dalam Yurisprudensi MA no: 04.K/ PDT.PEN/2009 yang menyatakan :
”Pengadilan tidak berwenang mengadili dan menguji Putusan MK terkait hasil Pemilu”
Hal di atas sesuai dengan:
-Asas lex dura set tamen scripta yang berarti Hukum memang kejam tetapi begitulah yang tertulis.
-Asas Staro decises et Quieta Nonmoverre Stare decisis adalah kebijakan pengadilan untuk menjadi preseden; istilah ini hanyalah singkatan dari tatapan decisis et non silenta movere —"berdiri dan mematuhi keputusan dan tidak mengganggu apa yang telah diselesaikan".
- Asas Similia Similabus artinya Suatu asas yang mengharuskan Hakim untuk mengikuti putusan Hakim lain dalam perkara yang sejenis atau dalam kasus yang sama atau istilah lainnya adalah asas Similia Similibus (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula).
1. Dalam Putusan MK, tentang PHPU Pilpres 2024, MK jelas mengatakan meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden, tidak ada persoalan dan sesuai dengan Putusan MK.
- Dari aspek Ratio Legis adalah hukum menurut akal sehat, akal budi/nalar yang merupakan alasan atau tujuan dari lahirnya peraturan perundang undangan, aspek prosedural dan substansi Hukum Tata Usaha Negara, kemungkinan besar gugatan PDPI akan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
2. Tidak ada upaya hukum apapun yang dapat mengubah putusan Mahkamah Konstitusi tentang PHPU;
3. Selain mempertimbangkan aspek yuridis, Majelis Hakim PTUN harus juga mempertimbangkan realitas politik, nasional, maupun geopolitik internasional yaitu pada saat ini pasangan Prabowo Gibran sedang menjajaki kemungkinan bergabungnya partai politik yang bukan merupakan bagian dari koalisi Indonesia maju (KIM) yang dari awal mendukung Prabowo Gibran serta banyaknya dukungan dan ucapan selamat dari pemimpin dari negara-negara besar seperti RRC, Rusia, USA, Inggris, Perancis, Uni Eropa, UAE, Yordania, Singapur, Malaysia, Filipina, dll serta keinginan mereka untuk meningkatkan kerjasama saling menguntungkan dari pelbagai bidang;
4. Sebagaimana kontestasi maupun kompetisi dalam bidang apapun termasuk olahraga maupun Pilpres pasti ada yang menang maupun yang kalah, dan hal ini ditentukan oleh siapa yang mendapatkan perolehan nilai yang lebih tinggi sehingga pihak yang kalah seharusnya secara legowo menerima kekalahannya.
5. Tidak ada dasar maupun alasan,secara yuridis maupun konstitusional bagi MPR untuk menunda atau membatalkan pelantikan Prabowo sebagai Presiden dan Gibran sebagai Wakil Presiden pada tanggal 20 0ktober 2024 ini.
6. Kontestasi Pilpres sudah tuntas dengan putusan MK kemarin, Seperti sebuah adagium yang menjadi salah satu asas hukum, _Litis Finiri Oportet yang berarti “setiap perkara harus ada akhirnya”.
* Penulis: Advokat Senior, M. Jaya S.H. M.H M.M
Load more