PEKAN lalu saya melakukan perjalanan semacam nostalgia ke salah satu kota kecil di Jawa Tengah, Purwokerto. Suasana kotanya tetap sama seperti ketika pada awal 1990-an saya tinggali: pohon-pohon asem dan sedikit mahoni (mungkin ditanam sejak zaman Belanda) berjajar rapih memberi keteduhan di sepanjang sisi jalan yang beraspal licin. Lalu lalang kendaraan tampak selalu lancar dan beradab. Dari dalam mobil--sambil pikiran tak berhenti mengenang masa lalu--saya memandang bangunan bangunan tua, pertokoan dan pedestrian yang juga tampak bersih dan terawat.
Saya datang kali ini persisnya untuk “menyampaikan ucapan terima kasih”. Seluruh pencapaian saya (jika itu bisa disebut sebagai sebuah pencapaian) sebenarnya bertaut dengan kota yang kaya budaya 'panginyongan' ini. Ini tentu bukan ukuran pencapaian fisik dan material, ini lebih ke mental dan spiritual.
Kemampuan saya memahami kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar saya, menangkap makna lalu mengikatnya menjadi tulisan reflektif misalnya adalah berkat pernah berkuliah di Universitas Islam Negeri Saifudin Zuhri Purwokerto. Maka, sebagai tanda rasa syukur karena pernah mengenyam pendidikan tinggi yang murah dan bermutu ketika itu, bersama rekan seangkatan kami juga menggagas kegiatan Rembug Alumni Akbar lintas angkatan pada Juni nanti. Kami juga meniatkan membuat semacam "dana pendidikan" kecil-kecilan untuk membantu mahasiswa yang kesulitan keuangan pada akhirnya nanti. Ini semua tentu bagian ikhtiar mengembalikan apa yang sudah kami dapatkan dari perguruan tinggi.
(Caption: Foto Udara, patung Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah)
Tak bisa disangkal, pendidikan adalah cara satu-satunya bagi anak desa semacam saya untuk naik ke strata sosial yang lebih tinggi. Karenanya, saya masygul ketika beberapa waktu lalu mendengar mahasiswa mahasiswa di Purwokerto terancam putus kuliah akibat kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman. Besaran kenaikan uang kuliah disebut di atas kenormalan dan prinsip berkeadilan.
Mereka berunjuk rasa di depan gedung rektorat. Aisyah, mahasiswa baru yang diterima dari jalur prestasi orasi sambil menangis. Ia merasa terjebak, bingung, tak tahu harus berbuat apa-apa setelah menerima kenyataan uang kuliahnya meningkat berlipat lipat. Ia merasa orang tuanya yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan tak akan bisa membayar uang kuliah hingga Rp8 juta per semester. Dalam kebingungannya Aisyah hanya bisa menangis di depan Rektorat.
Bersyukur pihak rektorat ternyata tidak tuli. Setelah mendapatkan penolakan dari mahasiswa, terakhir saya mendengar keputusan menaikan UKT itu akhirnya dibatalkan.
Namun, isu komersialisasi pendidikan sebenarnya tidak selesai dengan dibatalkannya kenaikan UKT di Universitas Jenderal Soedirman. "Aroma uang" dalam penerimaan mahasiswa baru kini bukan hanya terjadi di kampus-kampus negeri di kota kota besar, seperti di Jakarta dan Bandung, tapi juga tercium hingga ke Perguruan Tinggi di kota kota kecil seperti Purwokerto.
Presiden Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) M Aziz Syahputra menyatakan UKT di USU tahun ini naik lagi berkisar 30-50 persen.
(Caption: Sejumlah mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto berunjuk rasa menolak kenaikan UKT)
Mahasiswa Universitas Riau (Unri) juga berteriak di media sosial ihwal kenaikan UKT. Buntutnya, seorang mahasiswa bahkan dilaporkan Rektor Unri ke polisi karena membuat konten berisi kritik soal kenaikan UKT.
Pangkal soalnya, mulanya adalah soal otonomi pendidikan. Perguruan Tinggi Negeri diubah menjadi Badan Hukum yang diberi kebebasan untuk mengelola kampusnya, termasuk untuk mengkomersialkannya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 juncto PP nomor 8 tahun 2020 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTNBH, universitas atau perguruan tinggi negeri dibolehkan mencari pendanaan dari dua sumber, APBN dan selain APBN.
Bermodal aturan ini PTNBH diberi ruang seluas luasnya untuk menggali sumber pendanaan selain dari APBN. Di tangan pengelola kampus yang pendek akal, cara paling mudah adalah dengan terus memperbesar kuota untuk jalur mandiri.
Kita tahu jalur ini adalah lumbung uang PTN karena sering digunakan pengelola kampus negeri untuk mengeruk uang dari mahasiswa baru. Dengan dalih uang sumbangan pendidikan dan biaya perawatan fasilitas kampus, deal uang pangkal hingga uang kuliah dilakukan sejak awal, sebagai salah satu syarat penerimaan. Bukan rahasia lagi siapa yang bisa memberi jaminan “uang sumbangan” dan uang kuliah lebih tinggi akan lebih besar diterima di PTN tersebut.
(Caption: Mahasiswa Universitas Riau (Unri) Khariq Anhar sempat dipolisikan gara-gara kritik UKT di kampusnya)
Berjalan tanpa pengawasan dari Kementerian Pendidikan, jalur ini bahkan terbukti jadi ladang korupsi baru. Kita ingat seorang mantan Rektor Universitas Lampung (Unila), beserta sejumlah pejabat lain divonis penjara di kasus korupsi penerimaan mahasiswa baru (PMB) Jalur Mandiri Unila.
Fakta ini ternyata belum lah cukup untuk mengevaluasi praktek “mencari uang” dari orang tua peserta didik. Dengan status PTNBH, rektor dan pengelola kampus bisa mengatur keuangan kampus secara mandiri. Besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dikerek semakin tinggi.
Kini, untuk sejumlah program studi tertentu, biaya kuliah kampus negeri bisa disebut sama besarnya atau bahkan melebihi perguruan tinggi swasta. Kebijakan yang menyimpang dari dasar historis dan ideologis pendirian universitas negeri, yaitu pemerintah bertanggung jawab memberi layanan pendidikan berkualitas dengan biaya murah justru semakin banyak ditiru oleh pengelola universitas negeri.
Tidak terbayang cara lain, misalnya menghimpun dana dari pihak swasta dengan membangun kerja sama penelitian, menjaring kerja sama beasiswa dari funding luar negeri, atau membentuk dana abadi pendidikan dari forum alumni.
Pada titik ini, universitas didirikan bukan lagi oleh dorongan yang sama ketika bapak-bapak bangsa kita mendirikan pesantren atau padepokan yang jauh dari kemegahan kota besar dan istana kekuasaan. Kini universitas adalah bagian dari barang mewah yang disulap sebagai cara untuk meningkatkan status sosial dan prestise. Cetak birunya saat dirancang adalah lambang kemakmuran dan kemegahan sebuah daerah atau kota.
Dengan paradigma materialism yang dikedepankan, kita kini biasa mendapati gedung gedung rektorat lebih 'magrong-magrong' ketimbang perpustakaan kampus, tempat pengetahuan dan pemikiran digauli dengan suntuk oleh mahasiswa.
Tidak terlampau jelas apakah dalam cetak biru itu digagas, misalnya bagaimana agar percakapan ilmu bisa terjadi lebih dominan di kampus. Adakah kebijakan yang menjelaskan bahwa para pengajarnya bukan seorang pemamah biak teks-teks usang, apalagi memplagiat karya tulis mahasiswa-mahasiswanya. Bagamana kebebasan berbicara dijamin, misalnya pada dosen seperti Rocky Gerung yang kritis bisa dilakukan dengan leluasa di seluruh kampus di tanah air ---sebagai bagian kebebasan mimbar akademik. Bisakah birokrasi kampus dipersingkat, sehingga energi seluruh sivitas akademika tercurah pada penjelajahan ilmu pengetahuan seluas luasnya hingga melampui batas batas jurusan dan fakultas (sebagaimana jargon Kampus Merdeka dari Mas Menteri Nadiem Makarim).
Adakah kita mendengar percakapan-percakapan penting itu dari perguruan tinggi kita? Tidak ada. Jika pun ada, terasa samar. Yang lebih nyaring justru kehendak untuk menarik uang sebanyak banyaknya dari peserta didik dengan banyak instrumen dan cara.
Apa boleh buat, pemerintah harus turun tangan, negara harus hadir menegakkan kembali hak setiap warga untuk memperoleh pendidikan bermutu yang dijamin konstitusi. Sudah saatnya kebijakan ugal ugalan mengubah PTN menjadi PTNBH dengan dalih minimnya anggaran dari pemerintah dan memaksa kampus beroperasi seperti badan usaha milik negara ditinjau lebih lanjut. Soalnya sudah terang: bagi rakyat miskin pendidikan adalah satu satunya cara untuk mobilitas vertikal, alat untuk naik ke strata sosial lebih tinggi.
Saya teringat ucapan salah satu capres, Anies Baswedan yang menyebut pendidikan sebagai eskalator sosial ekonomi.
Eskalator ini yang mengantarkan anak bangsa mencapai kehidupan yang lebih baik."Kenapa eskalator? Dia melangkah ataupun tidak, dia akan terbawa ke atas," ujar Anies. Kini adakah suara jernih itu terdengar lagi walau lamat-lamat ketika masa kampanye tak ada lagi? Saya tak bisa menjawab, hanya terbayang kembali wajah kecewa Aisyah.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more