“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Saya selalu terdiam sejenak, menunduk, setiap kali membaca lagi kutipan dari tokoh bangsa Kiai Ahmad Dahlan. Dawuh, ucapan pendiri Muhammadiyah itu begitu bermakna dalam melihat sepak terjang organisasi keagamaan yang usianya sudah menuju alaf kedua.
Terbayang bagaimana militan dan tawadhunya pengurus-pengurus organisasi ini di daerah-daerah. Dengan segala cara mereka menjalankan organisasi, membesarkannya dengan segala amal usaha di tengah himpitan keterbatasan-keterbatasan pribadi pengurus-pengurusnya.
Dalam sebuah kesempatan Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir membagikan kisah militan Kiai Ahmad Dahlan dalam membangun ormas itu. Misalnya ketika Kiai Dahlan sakit, ia bersikeras terus bekerja untuk Muhammadiyah. Sempat dikirim ke Malang untuk tetirah dan dijauhkan dari tugas-tugas dakwah yang rutin, tapi sampai di Malang Kiai Dahlan justru berdakwah, mengisi pengajian sampai kesehatannya makin buruk. Pada akhirnya Ia dibawa lagi ke Yogya dan masih terus bekerja hingga diingatkan oleh dokternya.
Kenapa Kiai Dahlan berdakwah sedemikian keras? "Beliau menjawab, kalau saya hentikan apa yang sudah saya lakukan ini, nanti akan berat di kemudian hari bagi para pelanjut saya,” tutur Haedar.
(Kiai Ahmad Dahlan. Sumber: Perpusataan Nasional)
Sikap inilah yang membuat dawuh Kiai Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” jadi punya gema.
Saya tahu persis bagaimana pengurus di Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Ranting, Majelis-majelis hingga badan-badan otonom Muhammadiyah banyak yang memilih mundur dari organisasi ketika merasa sudah tak maksimal membesarkan Muhammadiyah.
Murid Kiai Dahlan, Kiai Fachrodin misalnya sempat dilema untuk memilih antara Muhammadiyah atau berdagang. Pada akhirnya, Kiai Fachrodin memutuskan untuk berdagang sekaligus tetap membesarkan Muhammadiyah lantaran takut masuk bagian yang disebut dengan “mencari hidup dari Muhammadiyah”.
Demikian, pada barisan dakwah ini saya tak melihat ada kelompok yang menjadikan Muhammadiyah sebagai kuda tunggang untuk kepentingan pribadi. Muhammadiyah selalu berhasil mengambil jarak pada penguasa, termasuk dalam polemik ormas keagamaan diizinkan mengelola lahan tambang.
Ketika ormas lain dengan percaya diri mengajukan izin usaha pertambangan, termasuk mengajukan berbagai dalih sebagai pembenar, Muhammadiyah justru memilih untuk menahan diri. Muhamadiyah tak segera larut ikut bancakan “menguras kekayaan alam”, tapi memilih mengkajinya dengan saksama manfaat dan mudharatnya bagi persyarikatan dan bangsa.
Muhammadiyah memilih mengkaji, apakah pemberian konsesi tambang ini benar bisa mensejahterakan masyarakat ataukah justru akan menambah persoalan baru bagi carut marut tata kelola pertambangan.
Selama ini publik melihat watak ekonomi pertambangan sangat rapuh, tidak berkelanjutan dan jauh dari tujuan awal untuk kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan izin tambang di Indonesia yang sudah mencapai hampir 8000 izin tambang dengan luas konsesi lebih dari 10 juta hektar memunculkan banyak sekali ekses lingkungan, kesehatan hingga sosial.
Tata kelola industri tambang di Indonesia oleh pihak-pihak terkait termasuk yang paling buruk. Ada tumpang tindih aturan, lemahnya penegakan hukum, hingga obral izin dari pemerintah pusat dan daerah.
Konsesi tambang legal di Kalimantan Timur misalnya telah mencapai 44 persen dari luas total provinsi itu. Namun, pada praktiknya luasan wilayah pertambangan secara riil jauh melebihi angka tersebut akibat beroperasinya tambang illegal.
Dari satu ekses saja pihak terkait abai dalam menjalankan fungsinya: lubang sisa penambangan yang dibiarkan mangkrak.
Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2018 saja ada 3.092 lubang batu bara yang belum direhabilitasi. Lubang lubang itu memiliki kedalaman hingga ratusan meter dan beracun dan telah banyak menelan korban. Dari catatan Jatam pula menyebut sebanyak 140 orang meninggal akibat tenggelam di lubang bekas tambang.
Eksplorasi tambang di kawasan Taman Hutan Raya (tahura) Bukit Suharto---sebagian besar oleh tambang illegal—telah merusak satu satunya sumber air bersih warga desa Karya Jaya, Kutai Kertanegara. Belum lagi kerugian akibat mata pencaharian warga yang hilang karena lahan pertanian yang puso kekurangan air dan tak bisa mencari ikan di waduk.
Yang lebih berbahaya adalah ancaman konflik horizontal. Operasional tambang selama ini selalu rawan konflik sosial akibat sengketa lahan. Sepanjang 2014-2019 saja ada 62 konflik tambang yang memperhadapkan masyarakat dengan perusahaan pemilik izin tambang. Tercatat ada 269 orang yang menjadi korban kriminalisasi dalam konflik tambang tersebut. Tak terbayangkan, ormas keagamaan sebagai sumber moral dan nilai nilai, justru harus berada di pihak yang berhadap hadapan dengan masyarakat.
Kita juga tak ingin tokoh tokoh agama ---sebagai sumber legitimasi moral bangsa---berguguran akibat terjerat korupsi. Kita tahu sejumlah bekas Dirjen Minerba Kementerian ESDM terjerat kasus korupsi: ada Ridwan Djamaluddin yang sudah divonis 3,5 tahun dan Bambang Gatot Ariyono yang belum lama ditetapkan sebagai tersangka. Kedua mantan Dirjen Minerba ini tersangkut korupsi izin usaha pertambangan.
Muhammadiyah juga agaknya paham PP Minerba yang dikeluarkan dengan waktu relatif sangat singkat ini semangatnya melawan sejarah. Batu bara sebagai energi fosil adalah bagian dari residu sejarah Revolusi Industri pada abad 19 lalu.
Di banyak tempat di dunia, semangat untuk segera mematikan sumber energi fosil ini justru tengah bergelora. Penyebabnya “emas hitam” dianggap biang pencemaran udara di dunia. Batu bara selama ini umumnya digunakan untuk menggerakkan turbin di pembangkit listrik tenaga uap. Setiap pembangkit listrik yang dihidupkan dengan batu bara mengeluarkan sepertiga ton karbon dioksida untuk setiap megawatt-jam listrik yang dihasilkan.
Inggris misalnya menutup sepertiga dari sisa kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara sejak lima tahun lalu. Spanyol juga menutup separuh pembangkit listrik tenaga batu bara yang dimilikinya---lebih dari tujuh pembangkit listrik tenaga batu bara dimatikan—sejak dari Coruna hingga Cordoba.
Tak hanya di Eropa, semangat ini pun menular ke benua Asia. Negeri seperti India misalnya, yang pembangkit listriknya masih didominiasi tenaga batu bara, disebutkan oleh Global Energy Monitor tak lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru. Sebaliknya, India menutup 300 MW pembangkit listrik tenaga uapnya. Filipina dan Bangladesh juga telah berkomitmen tak membangun pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.
Kelas menengah di Asia agaknya sadar, pencemaran udara dan kerusakan alam akibat eksplorasi tambang telah memicu perubahan iklim. Akibatnya, badai, banjir, kekeringan yang dipicu dari kerusakan lingkungan mengintai setiap saat. Krisis pangan pun membayang.
Berhadapan dengan bencana ekologis, ormas agama semestinya menjadi pengkritik industri ekstraktif, bukan malah menjadi pelaku perusakannya. Yang paling berbahaya, jika ormas keagamaan ikut cawe-cawe dalam industri tambang, maka ia kehilangan legitimasi moralnya untuk mengritik bukan hanya dampak tambang, juga kondisi bangsa lainnya.
Pemerintah juga harus sadar, “politisasi tambang,” menukar daya kritis, mengkooptasi ormas ormas keagamaan dengan memberikan “gula-gula” izin usaha pertambangan sangat berbahaya di masa depan: kita kehilangan barisan kelas menangah sipil untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Pada akhirnya kualitas kebijakan pemerintah akan mengalami degradasi.
Demikian, saya bersyukur ketika Muhammadiyah sebagai salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia memilih menahan diri dalam hal pemberian izin usaha pertambangan. Dengan ini Muhammadiyah tetap kukuh menegakkan nalar publik dalam bernegara. Muhammadiyah bukan saja telah menjaga marwah organisasi, tapi juga tetap bersetia menjaga pesan pendirinya Kiai Ahmad Dahlan, “Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Ecep Suwardaniyasa Muslimin
Load more