Sambil joging mata saya menyapu barang dagangan yang dibawa warga. Saya takjub dengan aneka kuliner tradisional ataupun modern yang dikreasikan dan diperdagangkan warga. Sejak pecel hingga dimsum, dari cendol hingga ronde. Ternyata hanya dipicu dan difasilitasi sedikit saja oleh Pemkab, daya cipta warga sudah tumbuh subur.
Agaknya ini menjelaskan kenapa pertumbuhan ekonomi di wilayah ini cukup tahan banting. Bahkan saat dihantam krisis global dan wabah covid 19, Banyumas masih mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 persen, empat besar terbaik di Jawa Tengah.
Bisa ditebak keberadaan dua kampus negeri di Purwokerto jadi penggerak denyut kehidupan kota: Universitas Islam Negeri Saifudin Zuhri (UIN Saizu) dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari luar Banyumas, bahkan dari luar Pulau Jawa di kedua kampus itu membawa kehidupan sosial jadi terbuka dan dinamis.
Kota yang kosmopolit biasanya memantik seniman berkarya. Kompleksitas persoalan yang dialami warga di sebuah kota adalah ladang kreativitas yang tak habis habis. Garin Nugroho misalnya mengangkat pergolakan penari Lengger laki laki dalam film Kucumbu Tubuh Indahku. Tubuh penari Lengger dalam film ini dituturkan Garin sebagai medan pertarungan ekonomi, sosial dan politik lokal.
Aktor dalam film adalah Rianto, seorang penari Lengger Lanang yang telah mengenalkan khazanah tarian tradisi Banyumas ini pada dunia. Setelah menikah dengan perempuan Jepang, Rianto kini berkarir sebagai penari professional di Jepang. Jadwal pentasnya padat sepanjang tahun, mengenalkan Lengger lanang dari satu gedung pertunjukan ke gedung pertunjukan lainnya di Eropa dan Amerika. Rianto tak melupakan akarnya, anak seorang petani miskin di desa.
Load more