KITA melihat Veddriq Leonardo pada 4 detik gemilang itu dengan sukacita. Ketika penunjuk waktu menyala hijau bertuliskan 4,75 detik, stadion terbuka Le Bourget pecah.
Hendra Basyir sang pelatih yang biasanya terkontrol, tenang dan “dingin” itu berteriak kencang sabil meneteskan air mata. Rekan atlet lainnya seketika bersorak. Adi Mulyono, Rajiah Sallsabillah, Desak Made dan Rita Kusuma Dewi secara hampir bersamaan berteriak: “Akhirnya...”
“Akhirnya...” yang diteriakan atlet atlet itu bukan hanya untuk Vedriq. Kecepatan, fokus dan konsistensi Veddriq (saya melihat ia dalam pertandingan seperti tak berjejak pada tebing, ia seperti terbang karena hapal pada jalur panjat dan hanya fokus dengan papan penunjuk waktu) mengakhiri penantian panjang perolehan emas Olimpiade Paris 2024.
Emas Veddrig bersejarah karena membawa banyak hal pertama. Sejak upacara pembukaan atau penantian selama 13 hari, ini emas pertama untuk kontingen Indonesia. Emas nomor speed panjat tebing juga jadi emas pertama di luar cabang bulu tangkis yang kali ini tidak melanjutkan tradisi emas Olimpiadenya.
Namun, kita hanya melihat perjalanan Veddriq dalam 4 detik yang “mengubah sejarah” itu. Cara dan proses Veddriq meraih mimpinya barangkali tak pernah kita pikirkan.
Padahal meniti jalan atlet saat belum mencatatkan banyak prestasi seperti menjalani lorong panjang yang gelap.
Bagi Veddriq lorong paling kelam dalam hidupnya itu adalah ketika ia tak terpilih dalam Kejuaraan Nasional Yunior Panjat Tebing di Yogyakarta pada 2015. Veddriq merasa sudah berlatih habis habisan, tapi tak mendapatkan perhatian yang semestinya. Tak ada lomba yang menyertakan Verddriq.
Load more