Berlatih panjat tebing sejak masuk bangku sekolah menengah atas, Veddriq merasa bosan. Sempat terbesit untuk menyudahi karirnya sebagai atlet pemanjat dan fokus sebagai mahasiswa tahun pertama di Universitas, Tanjung Pura, Pontianak.
Demikian, kita tak pernah tahu betapa getas dan krusialnya pilihan menjadi seorang atlet. Kebakaran hutan adalah momok bagi warga Kalimantan. Ketika musim itu tiba warga diminta tetap di rumah karena asap mengganggu pernapasan dan jarak pandang saat beraktivitas sangat pendek.
Saat kebakaran hutan Veddriq tak pernah berhenti berlatih. Seperti sishiphus yang dihukum dewa, Veddriq tetap naik dan turun dinding panjat meski asap tebal mengganggu pandangan. Sang ibu bercerita, Veddriq akan menangis jika dilarang untuk pergi berlatih ke sebuah gelanggang olahraga raga, meski membahayakan kesehatan dan keselamatannya. Ketika Veddriq menembus pekatnya asap, giliran sang ibu yang menangis.
"Saya hanya berdoa saja, semoga cita citanya terkabul," ujar Rosita, ibunda Veddriq.
Setiap atlet harus dilahirkan dengan kepala batu. Ia harus pribadi tak mudah menyerah, meski harus sendiri dan mengalami banyak situasi sulit. Suatu ketika Veddriq harus berlatih dengan alat khusus untuk melatih kekuatan tangan, namun ia tak punya uang untuk membeli perlengkapan penting itu. Tak hilang akal, Veddriq membuat sendiri alat tersebut dari kayu milik ayahnya yang bekerja sebagai tukang. Akhirnya ia memiliki "alat canggih" untuk meningkatkan kekuatan tangan.
Atau ketika ia tak punya sepatu, Veddriq tak masalah harus berlatih dengan sepatu milik teman temannya. Ia menunggu temannya selesai berlatih, ketika temannya selesai atau beristirahat, ia meminjam sepatu mereka untuk memanjat. Cukup lama kebiasaan ini dilakukan. Veddriq bahkan baru bisa membeli sepatu ketika terpilih sebagai atlet pelatnas.
Load more