Proyek proyek mercusuar harus dilihat ulang aspek kemanfaatannya bagi warga. Harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Jangan lagi ada upaya demagogis, menciptakan gambaran dan citra yang menutupi realitas yang sebenarnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung Whoosh misalnya jadi contoh pahit. Karena kajian yang tidak tuntas, biaya investasinya membengkak dan harus ditalangi oleh APBN. Padahal, berdasarkan kesepakatan mestinya tak ada uang rakyat yang harus digelontorkan untuk menutupi pembengkakan biaya proyek hingga US$ 7,2 miliar (setara Rp 117 triliun).
Belum lagi angka keterisian penumpang harian yang ternyata jauh dari target, hanya 16-18 ribu penumpang per hari (hari kerja) dan 18-22 ribu penumpang per hari (hari libur). Akibatnya subsidi bakal terus menggerus anggaran negara.
Skala ekonomi yang meleset dari perkiraan alias besar pasak dari pada tiang jadi pelajaran mahal, ambisi politik untuk membangun proyek mercusuar hanya akan membebani publik dan parasit bagi anggaran negara dalam jangka panjang.
Bersamaan dengan doa doa dan rasa syukur yang dipanjatkan dari pelosok desa dan kota di seantero tanah air pada bulan ini, saya kembali teringat sepotong lirik Indonesia Raya karya WR Supratman, yang menyebut kemerdekaan adalah soal membangun jiwa terlebih dahulu, baru badan, fisik. “Bangunlah jiwanya…Bangunkah badannya…Untuk Indonesia Raya….“
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more