MEMANG selalu demikian Anies Baswedan, setelah perjuangan tak selamanya kesetiaan yang akan datang. Engkau akan terus saksikan satu persatu jalinan yang rekat dalam kerja kerja politik, satu persatu akan lepas dengan berbagai dalih dan pertimbangan.
Karena di sini politik didesain hanya untuk para pemenang, tak ada yang akan menemani yang kalah. Maka itu, tak ada batas, garis, demarkasi antara "putih" dan "hitam" semua dibiarkan menjadi "abu-abu", seperti kelompok arisan, setelah kontestasi lima tahunan yang saling serang dan “brutal,” kini semua menjadi bagian pihak pemenang. Semua menjadi satu kembali, seperti tak pernah ada yang serius sebelumnya. Sebab, semua partai politik menunggu pembagian “kue” yang akan dilakukan oleh sang pemenang.
Dan pihak yang kalah bukan hanya tak bisa mengembangkan barisan sendiri sebagai penyeimbang kekuasaan, oposisi, tapi bahkan harus digergaji layarnya sehingga bahteranya kandas.
Demikian Anies menghadapi kenyataan dijegal berkali kali hanya karena ia potensial menjadi barisan penyeimbang, oposisi, sesuatu yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk membuat politik kembali sehat dan punya manfaat untuk publik.
Penjegalan pertama kali ketika pihak penguasa dengan berbagai cara---dengan tawaran jabatan atau tekanan hukum--berhasil menghimpun 12 partai politik untuk "hanya" mendukung Ridwan Kamil dan Suswono.
Saat itu satu partai yang tersisa, PDI Perjuangan tak mampu lagi berbuat apapun. Dengan belenggu aturan ambang batas minimal, pasangan Ridwan Kamil dan Suswono saat itu hanya akan berhadapan dengan kotak kosong.
Untuk mengesankan demokrasi telah ditempuh, seorang “calon boneka” diciptakan untuk menjadi lawan. Caranya melalui jalur independen dengan mengumpulkan KTP dukungan yang kemudian kita tahu ternyata banyak yang diperoleh dengan cara tak semestinya.
Lalu tiba tiba ada “gempa politik”. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No.60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah di DPRD. Putusan ini seperti membuka jendela untuk kamar yang dibiarkan pengap selama sekian lama. Udara segar tiba tiba masuk lewat daun jendela, menggairahkan kembali kompetisi politik di daerah-daerah. Partai semacam PDI Perjuangan yang tadinya “pasrah” karena tak bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah kini bisa saja mengusung Anies sendirian. Toh hanya butuh dukungan 7,5 persen suara.
Tapi tentu tak mudah menaklukan DPR. Mereka terbiasa bersiasat. Sehari setelah putusan MK, esokya Rabu, (21/08) DPR tiba tiba tancap gas merevisi aturan Undang Undang Pilkada. Mereka menolak menggunakan putusan MK dan mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah seperti semula. Hanya tujuh jam, delapan fraksi dalam Badan Legislatif sepakat mengajukan revisi Undang Undang Pilkada untuk disahkan pada rapat paripurna DPR, Kamis (22/08).
DPR baru “takluk” setelah mahasiswa menggeruduk gedung parlemen, merobohkan pintu gerbang dan mamaksa wakil rakyat menghentikan pembahasan revisi Undang Undang Pilkada. Unjuk rasa tak hanya di Jakarta. Hampir di seluruh kota besar di Jawa dan luar Jawa, mahasiswa secara serentak turun ke jalan. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan Istana, DPR sepakat membatalkan pembahasan dan bersedia mengikuti putusan MK.
Segera selesaikah kartel politik? Bisa dengan mudah kah Anies lalu diusung parpol menjadi calon kepala daerah. Secara logika politik harusnya iya. Anies bintang di langit Jakarta. Hasil survei yang dilakukan lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 8-12 Agustus 2024 menunjukkan elektabilitas Anies Baswedan teratas dalam bursa calon gubernur di Pilkada Jakarta 2024.
Hasil survei SMRC dengan toleransi kesalahan diperkirakan kurang lebih 4,5 persen menunjukkan Anies memiliki elektabilitas yang kuat dengan mendapatkan 42,8 persen. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa elektabilitas Anies mengungguli Ridwan Kamil atau RK yang mencatatkan 34,9 persen bila "head-to-head" di antara keduanya terjadi di Pilkada Jakarta 2024.
Anies, bahkan masih unggul dibandingkan Ahok. Berdasarkan data SMRC, Anies meraih 37,8 persen, Ahok mendapatkan 34,3 persen. Oleh sebab itu, wajar nama Anies diperhitungkan dalam bursa Pilkada Jakarta dan disebut akan diusung oleh PDIP.
Dan pagi itu, Senin (26/08) dengan senyum sumringah Anies mencium tangan ibunya. Ia pamit sambil mengenakan batik yang tak biasa: tenun merah. Tujuannya pergi ke kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. "99 persen kami akan mengusung Anies," ujar Masinton, anggota komisi 3 dari fraksi PDI Perjuangan sehari sebelumnya.
Anies bahkan bertemu dengan Rano Karno, orang yang akan mendampinginya mengelola Jakarta di kantor pusat partai Banteng itu. Sebuah foto pertemuan itu lalu beredar ke publik dan para pewarta di lapangan beberapa sudah membuat laporan potensi PDI Perjuangan akan mengusung Anies sesaat lagi, namun kita tahu hingga ujung acara nama Anies tak disebut oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Demikian, politik bisa berlarat larat, melingkar lingkar, penuh drama, namun tak bisa dikenali lagi dasar dasar dan pertimbangan putusan politiknya, tak bisa ditangkap titik negosiasi dan perundingannya. Dan seperti kita tahu ujungnya: Anies tak bisa mendaftar di pilkada daerah manapun. Hingga batas akhir pendaftaran, tak ada satupun partai politik yang mengusung Anies meski elektabilitasnya paling tinggi di Jakarta.
Seperti burung pipit yang mati lemas karena dicengkeram dengan keras, politik dan demokrasi diam diam meredup. Feodalisme semakin diberi tempat. Partai berubah jadi kumpulan pecinta, fans ketua umum. Hubungan antar kader tak dilandasi keterbukaan, keadilan dan demokratisasi tetapi berdasarkan patron-klien, orang tua-anak.
Dalam konstruksi politik semacam ini, titah ketua umum jadi hukum. Semua sudah selesai di tangan ketua umum, tak ada celah bagi putusan politik yang tak terduga. Politik lalu menjadi nihilisme, tak membawa nilai nilai baru.
Politik hanya jadi ritual belaka: tanda gambar yang dicoblos setiap lima tahun sekali dan nama nama politisi, tak ada ideologi yang bergelora, tak ada gairah atau tindakan besar atas nama ideologi tersebut.
Politik sebagai perjuangan hilang, digantikan politik sebagai repetisi saja, sesuatu yang berulang ulang, rutin. Ia ada mungkin hanya setiap pemilu atau pemilukada.
Lalu di mana harapan? Harapan justru ada di luar proses politik resmi, ekstra parlementer. Mahasiswa yang berhimpun secara mandiri, membuat pagar hidup untuk menjaga temannya ketika dikejar dan dipukuli aparat. Atau pekerja kreatif seperti Reza Rahadian yang akhirnya terdorong turun ke jalan. “Mustinya saya cukup diam duduk di rumah, tapi ternyata tidak bisa,” ujar Reza Rahadian.
Anies seperti Reza akhirnya terserap lebih jauh masuk ke dalam politik karena merasa bidang ini terlampau penting jika hanya diserahkan pada politisi saja. Ia saya dengar tengah serius membuat organisasi massa. Saya senang pada akhirnya ia lebih serius untuk jadi barisan penyeimbang. Berada di luar pemerintahan sangat mulia karena dengan itu rakyat pada akhirnya seperti selalu punya “harapan”.
Anies Baswedan barangkali simbol harapan itu. Harapan barangkali seperti jalan setapak yang semula tak tampak di semak semak di pegunungan, tapi ketika banyak orang melewatinya, jalan itu lalu terlihat dan tercipta. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more