BERLARI pada lomba dengan pengorganisasian yang baik, bukan hanya rekreasi yang menyenangkan, tapi juga membangkitkan ide dan gagasan. Setidaknya itu saya alami ketika mengikuti ajang Jakarta Running Festival akhir pekan lalu.
Sepanjang gelaran saya mendapatkan pengalaman yang mendekati dengan ketika saya mengikuti lomba lomba marathon besar dunia sekelas world marathon majors. Pada kolom ini saya selalu sebutkan, sudah saatnya kita menjadikan ajang marathon sebagai sarana untuk mengenalkan Jakarta ke dunia dan gelaran Jakarta Running Festival saya kira itu sudah di arah yang benar menuju ke sana.
Bagi saya pribadi waktu berlari biasanya juga menjadi waktu terbaik untuk kontemplasi. Entah kenapa saat berlari di jalan paling sibuk di Jakarta, Jendral Sudirman, tapi bisa kita nikmati dengan steril tanpa gangguan kendaraan satupun, membuat pikiran saya terbang ke benua berjarak ribuan kilometer jauhnya dari tanah air, yang kebetulan selang beberapa jam kemudian melaksanakan world marathon majors: Chicago Marathon 2024.
Tahun ini Chicago Marathon memberikan penghormatan khusus pada pelari Kenya, Kelvin Kiptum. Penampilan Kiptum di Chicago Marathon memang layak dikenang, ia seperti meteor yang melesat cepat di udara, mengagetkan. Ia mengekalkan namanya di dunia lari, tak akan terhapus selamanya dengan menyelesaikan lomba dalam waktu kurang dari dua jam satu menit, sekaligus memecahkan catatan waktu pelari legendaris asal Kenya, Eliud Kipchoge.
“Dua jam 35 detik yang dihabiskan Kiptum di jalanan Chicago pada Oktober lalu adalah momen yang selalu dikenang sejarah,” tulis penyelenggara acara dalam video yang diunggah di media massa.
Yang membuat Kelvin Kiptum terus akan dikenang adalah setahun setelah ia melakukan pencapaian itu, pada usia 24 tahun ia tewas bersama pelatihnya dalam sebuah kecelakaan mobil di Kenya, hanya empat bulan setelah gelaran Chicago Marathon. Mobil yang dikendarai kehilangan kendali, keluar jalur dan berhenti ketika menabrak pembatas jalan.
“Dia baru berusia 24 tahun,” kata Presiden Kenya William Ruto. “Kiptum adalah masa depan kita.”
Kiptum memang layak dikenang, namun kita tahu Kenya akan terus melahirkan Kiptum Kiptum baru. Dari Lembah Rift ada ratusan bibit bibit pelari yang setiap pagi dan petang berlari naik turun perbukitan, menyusuri jalan tanah tanpa sepatu demi merebut mimpi: menjadi kaya dengan menaklukan ajang lari dunia. Menjadi bintang dalam lomba lari marathon ada mimpi jutaan anak anak Kenya saat ini. Hebatnya mereka diarahkan secara benar dalam sebuah kamp latihan terpadu yang terletak di Lembah Rift.
Hampir semua atlet lari Kenya berasal dari Rift Valley. Kipchoge sebelum jadi legenda marathon adalah pelari jarak jauh 5.000 meter di Lembah Valley. Brigid Kosgei yang memecahkan rekor dunia wanita di Chicago Marathon juga berasal dari Lembah Valley. Juga selalu muncul pelari muda dari kawasan ini, Joyciline Jepkosgei yang berhasil meraih juara untuk kategori wanita dalam New York Marathon juga hasil gemblengan kamp pelatihan ini.
Saya tahu Ketua Umum Pengurus Besar Atletik Seluruh Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan pasti menyadari momentum ini, saat demam lari tengah menghinggapi masyarakat Indonesia. Saya mendengar sebuah Pusat Pelatihan Atletik baru telah selesai dibangun dan siap digunakan untuk menggembleng bibit bibit pelari kita. Kabarnya pembangunan "kawah candradimuka" atletik ini menghabiskan dana hingga Rp 94 miliar di Pangalengan, Jawa Barat.
Ini jadi langkah baru yang cukup menjanjikan. Karena kita tahu, tempat berlatih bagi atlet lari selama ini hanya ada di Stadion Madya Senayan. Tempat berlatih ini hanya cocok untuk ajang latihan kecepatan. Belum lagi banyaknya kegiatan yang digelar di tempat ini, seringkali kepentingan utama, yakni untuk sarana berlatih atletik justru dinomor duakan.
Ihwal Pangalengan dan sekitarnya dijadikan sentrum latihan bagi saya amatlah baik. Dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut, dengan kontur jalan yang berbukit bukit sangatlah ideal untuk menggembleng kemampuan fisik atlet kita. Lari di dataran tinggi adalah jawaban untuk meningkatkan kapasitas dan daya tahan pernapasan VO2 max.
Saya juga mendengar di area seluas 4,7 hektar dari total 10 hektar lahan ada banyak lintasan lari yang disediakan. Selain lintasan 400 meter dalam satu putaran, pemerintah juga membangun lintasan untuk latihan kecepatan sepanjang 100 meter. Ada pula kamar atlet yang kabarnya bisa menampung 90 atlet.
Seharusnya dengan fasilitas baru ini akan banyak kita peroleh kabar gembira dari lapangan atletik. Sebab tanpa dukungan fasilitas pun militansi pelatih untuk melahirkan bibit bibit pelari unggul dari sekitar Pangalengan sudah tumbuh.
Tiba tiba saya teringat dengan Agung Mulyawan yang tak lelah mengajak bocah bocah Pengalengan untuk berlari. Dengan biaya sendiri ia membeli tanah, membangun rumah sederhana beserta beberapa mess untuk tempat tinggal atlet, mencari donatur sebisanya untuk membiayai kegiatan tempat yang diberi nama Agung Mulyawan Track Club.
Setiap subuh, dalam dingin yang menusuk tulang (pagi hari suhu mendekati 12 derajat celcius), di jalan berbatu batu di antara kebun teh yang masih diselimuti kabut, puluhan anak anak berlari sejauh 5000 meter dengan target waktu yang berbeda beda. Dari model latihan yang sederhana ini terbukti prestasi sudah bisa diraih. Pelari dari AMTC berjaya di Kejuaraan Antar Pelajar di Thailand dan Kejuaraan Atletik Nasional.
Demikian, akhir pekan lalu, sambil merasakan betapa rapinya penyelenggara Jakarta Running Festival, pikiran saya kembali membayangkan Kiptum yang dengan usia sangat muda (23 tahun) pecahkan rekor dunia di Chicago Marathon. Saya pikir ini bukan sebuah kemustahilan bagi bibit bibit pelari kita yang tengah digembleng di Pangalengan. Berkaca dari “naik kelasnya” permainan timnas sepak bola kita di kualifikasi Piala Dunia yang hingga kini belum terkalahkan, kita jadi tahu di dunia olahraga (sepanjang semua prasyaratnya sudah dilakukan) semua adalah mungkin. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more