SETIAP akhir tahun kita seperti diberi keleluasan waktu untuk merenung, berefleksi, melihat kembali pada fenomena, peristiwa penting di sekitar kita yang telah terjadi. Dalam tradisi pers Indonesia ada terminology “kaleidoskop”, kata yang secara etimologi bermakna “cermin” itu sebenarnya merupakan tulisan ulasan dari peristiwa yang sudah lewat, namun dianggap harus dicatat dan dimaknai secara lebih baik untuk tahun tahun yang akan datang.
Bagi saya salah satu catatan yang mengharu biru adalah capaian Timnas Sepak bola kita. Pada lapangan rumput seluas lebih dari 6000 meter persegi inilah sesungguhnya kebangsaan modern era kiwari dipertaruhkan. Airmata, kesedihan, gembira, sukacita jadi drama yang dinikmati setiap warga negara yang bertaut dengan nasionalisme. Imajinasi bersama soal negara yang dibayangkan melintasi ras suku, agama, antar golongan mengejawantah selama 2x45 menit.
Kita sudah tak mempersoalkan lagi asal ususl, latar belakang, perbedaan-perbedaan. Pemain dan pelatih boleh dari mana, sepanjang ia tertunduk saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, mencium dengan bangga Sang Saka Merah Putih dan berjibaku dengan keras membela tanah airnya yang baru, ia sudah dianggap jadi pahlawan pahlawan baru.
Kita melihat dengan terharu bagaimana Jay Idzes,Marten Paes, Jordy Amat, Justin Hubner, Calvin Verdonk, Sandy Walsh, Nathan Tjoe-A-On, Tom Haye begitu khusuk menghapalkan lagu lagu nasional.
Tiba tiba nasionalisme kita bukan lagi soal kekuatan angkatan bersenjata yang melawan penjajah atau agresi bangsa asing, cinta tanah air jadi soal soal sehari hari, menelusup di percakapan percakapan sejak restoran mewah di hotel hotel berbintang hingga kedai warung kopi di perkampungan padat penduduk. Ikatan sosial jadi nyata, imajinasi kolektif hidup.
Load more