Jakarta, tvOnenews.com-Indonesia berhasil melewati pandemi Covid 19 dengan baik, bahkan dipuji dunia internasional. Namun untuk penyakit yang menyerang pernafasan lainnya, seperti Tuberkulosis (TBC), pemerintah Indonesia seperti tidak berdaya. Saat ini TBC masih jadi ancaman kematian tertinggi di Indonesia. Bahkan berdasarkan data Global TB Report (2023), Indonesia dengan jumlah kasus TBC sebanyak 1.060.000 pertahun dan 134.000 kematian akibat TBC per tahun, berada pada posisi kedua di dunia setelah India dan Cina.
Untuk menekan penyebaran TBC, sangat penting seluruh pemangku kebijakan di Indonesia melakukan kerja-kerja bersama langsung di lapangan (affirmative action) yang melibatkan banyak profesi dan multidisiplin untuk menanggulangi penyebaran TBC. Pasalnya, dari banyak kasus penyebaran TBC di tanah air, persoalannya ternyata sangat kompleks dan multidimensi.
Demikian benang merah diskusi Peningkatan Kualitas Rumah Bagi Penderita Tuberkulosis Perkotaan yang digelar oleh MBKM Research Course of Housing (RECEH) bersama Sekolah Kajian Stratejik an lobal UI (SKSG UI) dan Yayasan Arsitektur Nusantara di Gedung IASTH, Kampus Universitas Indonesia, Jakarta Pusat.
Dr. Chotib, M.Si., Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP) SKSG UI, yang membacakan sambutan Direktur SKSG UI menyebut penyebaran TBC Indonesia kerap mengalami anomali dan evolusi baru karena dalam sudut pandang demografi, Indonesia tengah mengalami transisi demografi tahap 3.
"Panyakit menjadi sangat kompleks dan dinamis," ujar Chotib. Sehingga, ujar Chotib, diskusi yang mempertemukan banyak disiplin dan kebijakan yang digelar di SKSG UI sangat penting. "Kita akan lihat nanti pengalaman dari sisi disiplin arsitektur ternyata sangat menentukan," tambah Chotib.
Pengalaman Research Course of Housing dan Yayasan Arsitektur Hijau Nusantara yang lama bergerak di kampung kota, lokasi yang kerap banyak ditemukan penyakit TBC, ternyata isu perumahan sehat saja tak bisa diselesaikan masalah penyebaran penyakit TBC.
Arsitektur misalnya hanya satu bidang saja, tapi belum bisa menuntaskan banyak persoalan di wilayah pendampingan. Selain ada persoalan sanitasi dan ventilasi yang buruk, warga yang terjangkit TBC misalnya mengalami stigma dan diskriminasi. "Jadi bukan hanya aspek teknis saja," ujar Joko Adianto, dari MBKM Receh UI.
Load more