Bagi Joko program pendampingan yang dilakukan mahasiswa Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia dengan terlibat mendesain dan mewujudkan rumah rumah sehat di kampung kota ternyata terobosan yang berdampak. Pembelajaran teori ternyata bisa dilakukan bersamaan dengan praksis di lapangan. Produksi pengetahuan bisa berdampingan dengan pengabdian masyarakat sekaligus. "Arsitek bukan lagi elit dan di menara gading," ujar Joko.
Sementara Ruli Oktavian, dari Yayasan Arsitektur Hijau Nusantara menyebut, sinergi dan aksi nyata secara Bersama-sama akan mempercepat pemberantasan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Pengalaman dari relawan di wilayah pendampingan misalnya, Ketika sebuah hunian akan dipugar, ternyata terbentur perkara legalitas lahan misalnya. "Padahal, persoalan legalitas tak bisa diselesaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, tetapi harus melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang," ujar Ruli.
Sementara Dr Husnul Fitri, sebagai pengamat perkotaan menyorot kesahihan data data yang dijadikan bahan untuk aksi di masyarakat.
Bagi Husnul data data terkait penangggulangan penyebaran TBC harus valid agar tidak terjadi bias dalam perumusan perumusan program di lapangan. "Misalnya ada fakta ternyata banyak yang terjangkit dari kaum pensiunan dan terlanjur terstigma sumbernya di kekumuhan wilayah kampung kota, nanti akan terjadi bias Kembali," ujar Husnul.
Bagi Husnul, intervensi yang dilakukan pemangku kepentingan dalam pencegahan penyakit TBC harus menyeluruh, tak hanya perbaikan fisik rumah semata, tapi juga perbaikan perilaku. "Jadi tak hanya perbaikan rumah, tapi juga memperbaiki lingkungan dan masyarakat," pungkas Husnul.(bwo)
Load more