ISU tentang gaya hidup frugal living mulai menjadi perbincangan di berbagai kalangan masyarakat. Frugal living sendiri merupakan gaya hidup yang menekankan pada pengelolaan keuangan secara bijak dan hemat. Inti dari konsep ini adalah mengurangi pengeluaran dan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.
Prinsip ini bertentangan dengan istilah populer dalam gaya hidup modern, yakni YOLO (You Only Live Once), yang mendorong seseorang untuk menikmati hidup tanpa terlalu memikirkan dampak finansial jangka panjang. Sebagai gantinya, frugal living mengusung konsep YONO (You Only Need One), yang berarti seseorang hanya perlu memiliki sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan.
Gaya hidup ini semakin relevan dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, di mana inflasi tinggi dan kenaikan harga-harga kebutuhan semakin membebani masyarakat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain yang tengah mengalami ketidakstabilan ekonomi. Oleh karena itu, frugal living dianggap sebagai solusi untuk tetap bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Namun, apakah fenomena ini akan menjadi tren jangka panjang atau hanya respons sementara terhadap kondisi ekonomi saat ini? Dan bagaimana dampaknya terhadap sektor ekonomi, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)?
Frugal Living sebagai Respons terhadap Kondisi Ekonomi
Fenomena frugal living muncul bukan tanpa alasan. Salah satu faktor utama yang menyebabkan meningkatnya popularitas gaya hidup ini adalah meningkatnya biaya hidup akibat inflasi yang tinggi. Di Indonesia, inflasi yang terus meningkat membuat daya beli masyarakat semakin menurun. Produk-produk impor mendominasi pasar, menyebabkan harga barang kebutuhan pokok menjadi lebih mahal. Hal ini memaksa banyak orang untuk mengurangi pengeluaran mereka dan fokus hanya pada kebutuhan yang benar-benar penting.
Selain itu, kebijakan pemerintah terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga turut berkontribusi terhadap perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Rencana kenaikan PPN menjadi 12% semakin memperberat beban masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah. Meskipun kenaikan ini hanya 1% dari tarif sebelumnya, dampaknya bisa sangat signifikan karena mempengaruhi seluruh rantai proses yang ada, mulai dari bahan baku hingga produk jadi yang dijual di pasaran.
Load more