SEJAUH mata memandang hanya batu. Saya berlari perlahan-lahan, meliuk-liuk melewati tembok-tembok Gereja San Peter Basilica di Vatikan yang terbuat dari batu kapur putih, kaki menjejaki batu-batu hitam mengkilat berbentuk balok-balok yang disusun sangat rapih. Nafas memburu. Keringat jatuh satu-satu. Jalanan itu semakin licin ketika limpasan keringat bercampur dengan lelehan air minum dan sesekali rintik hujan melumuri permukaan batu. Saya sekuat tenaga harus menjaga keseimbangan selama berlari.
Harus jujur, ini pertama kalinya saya lari marathon di atas begitu banyak jalanan berbatu (cobble stone) yang permukaannya kerap tidak rata. Di sejumlah ruas, beberapa jalan bahkan sedikit berlubang. Semakin lama rasa pedih merayap dari telapak ke mata kaki dan betis. Berkali-kali langkah saya terpeleset karena sepatu yang dikenakan hanya cocok untuk permukaan aspal. Di kilometer ke-30, akhirnya saya tak lagi memikirkan kecepatan pada sisa berlari, ini karena jalan-jalan berbatuan yang semakin banyak. Sejauh yang bisa dilakukan hanya menjaga diri agar tidak terpeleset dan menghindari pergelangan kaki tidak terkilir.
Namun Roma tetaplah Roma. Roma adalah kesulitan lari yang saya nikmati, jalan berlari yang akan terus saya kenang. Memang tak ada yang meminta saya untuk berlari, apalagi berlari sejauh 42,2 kilometer yang membutuhkan waktu lima jam lebih untuk ukuran pelari amatir seperti saya.
Toh, saya sendiri yang memutuskan harus selalu berlari hingga entah kapan dalam hidup ini, karena saya sangat butuh dan sesungguhnya mencintai olah raga ini. Kesulitan dan rasa lelah selama perjalanan adalah pilihan-pilihan sadar yang saya sudah ambil.
Saya harus menyelesaikan apapun yang sudah saya mulai. Setiap garis start yang saya lewati harus diakhiri dengan garis finish.
Saya merasa betapa beruntung mengikuti ajang lari Roma Marathon di kota yang sesungguhnya paling bersejarah di dunia. Terlebih Roma Marathon yang pernah jadi bagian sejarah maraton Olimpiade 1960 ini, masuk usia ke-30. Saya segera membayangkan bagaimana Abebe Bikila, pelari dari Ethiopia saat bisa memenangkan medali emas olimpiade dengan berlari tanpa alas kaki. Sekali lagi tanpa alas kaki pada jalanan sama yang saat ini saya jejaki. Sebuah kemenangan yang paling ikonik dalam sejarah Olimpiade.
Load more