Jakarta - Dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Setidaknya hal itu dapat dilihat dalam dua indikator: Ancaman pandemi Corona Virus (Covid-19) belum sepenuhnya berakhir dan dampak global perang Rusia-Ukraina. Dua hal ini menjadi penyebab situasi ekonomi global yang imbasnya sudah nampak nyata di depan mata. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat ditambah harga kebutuhan sehari-hari melambung. Tidak selesai sampai di sini, perang telah menjadikan harga minyak dunia melambung. Dampak domino di dalam negeri harga Bahar Bakar Minyak (BBM) ikutan naik.
Dibutuhkan kebijakan ekonomi yang benar-benar pro rakyat selain menggelorakan solidaritas dan empati kepada wong cilik. Bulan Ramadhan saat yang tepat untuk melakukan refleksi personal dan kolektif untuk menyegarkan kembali makna solidaritas, empati, dan keberagamaan kita selama ini. Puasa sejatinya tidak sebatas olah jiwa yang bersifat personal tapi harus dinaikkan kelasnya menjadi ibadah yang berdampak sosial.
Puasa adalah Toleransi
Secara substantif ajaran puasa adalah tradisi religi agama-agama besar di dunia. Secara umum pengertian puasa adalah “menahan” dan “pengendalian diri”. Pengertian harfiah puasa ini sama dengan arti kata toleransi (dari bahasa Latin Tolerantia) yang artinya kesabaran (patience) atau daya tahan, ketahanan (endurance). Puasa dengan kata lain memiliki pengertian sangat dekat dengan sikap toleransi sebagai upaya pengendalian diri. Dalam bahasa agama Islam pengendalian diri dapat diartikan dengan sabar. Orang yang sabar adalah orang yang tengah atau mampu mengendalikan dirinya. Hal ini segaris dengan makna toleransi. Bertoleransi adalah sikap seseorang yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghormati perbedaan dan menahan diri dari sikap merasa paling benar sendiri. Pada saat yang sama ia menyadari bahwa terdapat kebenaran lain dalam diri orang lain atau kelompok lain yang harus dihormati.
Ajaran puasa sebagai tradisi agama-agama besar secara eksplisit tertuang dalam al-Qur’an (QS. 2: 183). Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kewajiban puasa berlaku pula bagi ummat-ummat terdahulu.
Ajaran menahan hawa nafsu dalam ritual puasa dalam Islam berkembang menjadi metoda pembersihan diri (tazkiyat an-Nafsi). Upaya pembersihan diri ini dapat berupa amalan-amalan olah spiritual yang banyak dilakukan kalangan penganut jalan spiritual (tasawwuf) dan kelompok-kelompok sufi atau tarekat.
Menurut Imam al-Ghazali (wafat 1111), puasa merupakan sebagian dari kesabaran yang pahalanya tak terhingga. Puasa identik dengan kesabaran yang tak mengenal batas, upaya yang bersifat terus menerus tak kenal henti, karenanya pahala orang yang sabar tidak terbatas. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qurán (QS. 39:10) bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang pahalanya tanpa batas. Penisbatan puasa dengan sabar inilah telah menempatkan ibadah puasa Ramadhan begitu istimewa dalam Islam. Saking istimewanya puasa Ramadhan di banding ibadah yang lain, jika ia dilakukan dengan ikhlas semata mengharap keridhaan Allah SWT maka hanya Dialah yang memberi pahalanya.
Jaminan Allah ini terjadi karena puasa berbeda dengan jenis ibadah lainnya yang terbuka terhadap pamrih lingkungan. Sebaliknya puasa, dengan pengertian tidak sekadar menahan makan, minum dan berhubungan biologis, adalah ibadah yang bersifat personal meskipun dilakukan berjamaah.
Sebagai ibadah personal puasa identik dengan olah kalbu untuk mendekatkan kesadaran diri hanya kepada Sang Khalik. Pada tingkatan ini makna bersabar tidak semata menahan diri dari perbuatan yang dapat membatalkan ibadah puasa seperti bergunjing, berdusta, tetapi berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain baik verbal maupun non-verbal. Puasa level ini sangatlah jelas memiliki dimensi sosial yang luas. Inilah puasa kelas istimewa, puasa publik.
Setingkat di atas kelas ini adalah puasa dengan kadar spiritual yang tinggi, semakin personal dan intens. Pada derajat ini seorang hamba benar-benar fokus kepada Allah. Hati, pikiran dan perbuatannya semata tertuju kepada Allah. Manakala ia lalai dari Allah, dia merasa puasanya batal. Inilah puasa kelas sangat istimewa yang hanya mampu dilakukan oleh para kekasih Allah (aulia).
Solidaritas Bangkit Bersama
Puasa mengajarkan empati terhadap perasaan dan pengalaman kurang beruntung orang lain. Tuntunan ini sangatlah jelas dalam puasa Ramadhan. Menahan lapar dan dahaga di siang hari bulan Ramadhan mengandung makna semua Muslim yang tengah berpuasa merasakan lapar dan dahaga yang dirasakan orang lain. Ajaran moral ini tak lain adalah ajaran empati orang berpuasa terhadap sesamanya dari kalangan masyarakat kurang beruntung. Mereka yang dalam kesehariannya bergulat dengan kelaparan, kemiskinan dan kebodohan.
Namun, tidak cukup sebatas berempati terhadap orang lapar dan miskin. Ajaran moral puasa ini semestinya dapat menggerakkan hati kelas menengah ke atas untuk berbagi, baik kekayaan, akses, maupun pengetahuan, dengan kalangan miskin korban pandemi Covid-19.
Menurut catatan Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional sebanyak 225 juta penduduk dunia kehilangan pekerjaan dan 97 juta angka kemiskinan akibat pandemi Covid-19 yang mulai melanda dunia pada 2020. Saat ini tercatat hanya 15% dari penduduk dunia yang memiliki income lebih dari 30 USD per hari (Wisnoentoro, 2022). Menghadapi realitas ini penduduk dunia harus saling bekerja sama saling membantu melalui berbagai program pemulihan ekonomi dunia. Di dalam negeri pun jumlah orang miskin baru dan pengangguran akibat pandemi Covid-19 sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Menghadapi kenyataan ini, membangun solidaritas ummat Islam menjadi langkah penting, di tengah upaya pemulihan ekonomi dan kesehatan yang dijalankan pemerintah. Dalam rangka ini peran ekonomi syariah dapat menjadi solusi bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Ekonomi syariah dapat menjadi instrumen aktualisasi dimensi sosial ajaran puasa Ramadhan.
Sebagai upaya membangun solidaritas untuk bangkit bersama, peran zakat dan wakaf dapat lebih ditingkatkan untuk program pemulihan ekonomi dan pengembangan SDM. Sebagai instrumen keuangan sosial Islam masing-masing dana Zakat dan Wakaf dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur bagi kalangan miskin terdampak pandemi Covid-19.
Secara konseptual dana zakat dan wakaf tersebut dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin, terutama di desa-desa tertinggal. Dana zakat dapat dikelola dengan melibatkan dunia kampus untuk program pendidikan, keterampilan, kesehatan, ekonomi masyarakat.
Secara operasional dana zakat dapat digunakan untuk gaji para guru, fasilitator dan tenaga kesehatan yang tergolong dalam kelompok penerima zakat dan sabilillah. Sementara dana wakaf dapat digunakan untuk program pembangunan sarana fisik penunjang peningkatan SDM, seperti pembuatan sumber listrik bagi desa yang belum memiliki aliran listrik. Atau pembangunan jalan, sekolah, dan rumah sakit (Sukmana dan Cahyono, 2022). Tak kalah penting dari upaya ini adalah profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pengelola zakat dan wakaf dalam menjalankan misi membangun solidaritas tersebut.
Upaya-upaya pembangunan solidaritas pada akhirnya akan membangun kepercayaan (trust) dalam masyarakat dan masyarakat kepada pemerintah. Dalam sistem demokrasi kepercayaan publik adalah unsur mendasar bagi stabilitas demokrasi. Membangun solidaritas dapat dibangun saat kesenjangan dan krisis sosial dan ekonomi tengah terjadi seperti saat ini.
Perdamaian Semesta
Dalam Islam manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Dari pandangan ini keberadaan manusia di dunia adalah sebagai wakil (khalifah) Tuhan. Sebagai wakil Tuhan di dunia manusia hendaknya berperilaku mencontoh sifat-sifat Allah. Puasa Ramadhan adalah momentum terbaik untuk mencontoh sifat-sifat Allah. Sebagai mahluk yang memiliki kecenderungan kepada kebenaran manusia dapat meniru sifat-sifat Allah. Allah Yang Maha welas asih (Rahman dan Rahim) dapat dipancarkan oleh hambanya dalam perilaku penuh kasih sayang kepada sesama.
Sifat Allah yang lain adalah Yang Maha Pemberi Kedamaian (as-Salaam), sebagaimana dalam al-Qurán Allah menggambarkan diri-Nya dengan kata as-Salaam, Maha Pemberi Kedamaian. Karenanya seoarang Muslim dapat mengatakan bahwa Allah adalah damai dan kerinduannya akan kedamaian tidak lain adalah kerinduannya akan Allah (Nasr, 2002). Dalam al-Qurán kedamaian digambarkan dalam ungkapan sakral dengan kehadiran Yang Mahas Suci (Divine presence). Menurut filsuf Seyyed Hossein Nasr, karena damai adalah kualitas yang kekal, ia tidak mudah untuk di gapai baik ke dalam maupun keluar. Untuk memancarkan kedamaian, seseorang harus berdamai dengan dirinya. Dan untuk dapat berdamai dengan dirinya ia harus berdamai dengan Tuhannya. Puasa Ramadhan dapat menjadi sarana hamba untuk berdamai dengan Allah, Sang Maha Damai, melalui perilaku menebar kedamaian kepada sesama.
Kerinduan akan kedamaian dapat direfleksikan dengan sikap dan perilaku tenang dan khusu’ dalam beribadah dan keseharian. Seajalan dengan ini dapat juga diaktualkan, antara lain, melalui sikap dan tindakan anti kekerasan dan perang. Apapun alasannya perang adalah bukan solusi terbaik bagi perselisihan dan konflik, kecuali ia menimbulkan kenestapaan, kesengsaraan dan korban kemanusiaan.
Ramadhan mengajarkan kita akan kedamaian dan perdamaian. Saat perang masih menjadi pilihan manusia modern, saat itu pula sesungguhnya dunia tengah berhajat kepada seruan damai. Islam sebagai agama yang identik dengan kedamaian seharusnya di aktualkan dengan mendidik pemeluknya sebagai agen penebar kasih sayang (rahmah) untuk semesta, rahmatan lil ‘alamin.
Mencermati situasi sosial ekonomi tanah air dan dunia hari ini, menyegarkan spirit Ramadhan adalah langkah paling tepat bagi ummat Islam Indonesia. Inilah momentum terbaik untuk meningkatkan sikap toleran, membangun solidaritas sesama untuk bangkit bersama dari keterpurukan akibat pandemi global, dan menyeru perdamaian dunia. Semoga.
Penulis:
Achmad Ubaedillah, Pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU
Load more