Hubungan kemitraan merupakan hal yang biasa dilakukan antara pelaku usaha yang ingin mengembangkan bisnisnya. Penggunaan hubungan kemitraan dalam bisnis semakin berkembang seiring dengan waktu dan kemajuan teknologi. Dalam dunia aplikasi transportasi online, misalnya, terdapat contoh perjanjian kemitraan antara penyedia aplikasi berbasis online dengan pengemudi yang merupakan penyedia jasa transportasi tersebut. Hanya saja, kekeliruan dalam mempersiapkan draf perjanjian kemitraan dapat berakibat fatal. Pihak, yang awalnya dianggap sebagai mitra, tiba-tiba menuntut pesangon, dan menyatakan bahwa mereka seolah-olah merupakan “karyawan”.
Pada prinsipnya, “perjanjian kemitraan” murni berbeda dengan perjanjian kerja. Perjanjian kemitraan tunduk pada asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada praktiknya, para pihak dalam perjanjian kemitraan berkedudukan setara yang mana hal ini tidak sama dengan perjanjian kerja dimana biasanya pemberi kerja (pengusaha) memiliki posisi tawar yang lebih baik daripada pekerja dalam hal negosiasi perjanjian kerja.
Tidak terdapat ketentuan khusus mengenai bagaimana cara mempersiapkan suatu “perjanjian kemitraan”, (terkecuali di industri tertentu yang dapat saja mengatur mengenai persyaratan teknis tertentu bagi seorang mitra). Para pihak dapat menentukan dan menyetujui isi dari perjanjian kemitraan.
Beberapa hal perlu untuk dipertimbangkan (terutama bagi pihak prinsipal) dalam membuat dan mempersiapkan perjanjian kemitraan dengan perseorangan (sebagai mitra).
1. Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian
Sebelum membahas mengenai kemitraan, pertama-tama kita perlu terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja pada prinsipnya merupakan perjanjian yang dibuat antara pengusaha dengan pekerja/karyawan (yang dapat dibuat secara tertulis atau lisan, kecuali apabila dipersyaratkan harus tertulis, yaitu: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja menimbulkan hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja yang memiiki unsur pekerjaan, upah dan perintah. Oleh karena itu, suatu perjanjian kemitraan tentunya tidak akan memuat unsur-unsur ini.
Seringkali, pelaku usaha hanya memperhatikan "judul” dari perjanjian tersebut, dan menganggap bahwa suatu perjanjian adalah kemitraan apabila judul perjanjian tersebut adalah “Perjanjian Kemitraan”. Padahal, judul perjanjian tidak serta merta selaras dengan isi perjanjian tersebut. Sebagai contoh, apabila dalam suatu perjanjian kemitraan, Pihak A (mitra) diwajibkan untuk melakukan “pekerjaan” tertentu, berdasarkan “perintah” dari Pihak B (prinsipal), dan sebagai imbalan, Pihak A akan mendapatkan upah/gaji dari Pihak B, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian kemitraan tersebut sebenarnya merupakan “perjanjian kerja”.
Untuk menghindari resiko suatu perjanjian kemitraan dianggap sebagai suatu perjanjian kerja, maka perjanjian kemitraan tersebut perlu untuk mencantumkan secara jelas “kontribusi” dari masing-masing pihak dalam perjanjian kemitraan tersebut. Sebagai contoh, perjanjian kemitraan antara penyedia jasa aplikasi transportasi online (prinsipal) dengan para pengemudi (mitra), dimana perjanjian kemitraan secara tegas menyebutkan bahwa pihak prinsipal akan menyediakan jasa untuk mengelola pesanan dari pelanggan, dan menyampaikan informasi mengenai pesanan tersebut kepada mitra, yang kemudian akan menggunakan propertinya sendiri (yaitu kendaraannya) untuk mengantarkan pelanggan. Mitra bebas untuk menerima atau menolak pesanan yang ditawarkan oleh prinsipal dan biaya yang dibayarkan oleh pelanggan akan dibagikan antara prinsipal dan mitra (atau mitra setuju untuk membayar biaya tertentu kepada prinsipal untuk menggunakan aplikasi yang dikelolanya tersebut). Oleh karena itu dalam contoh kemitraan ini, mitra mengikatkan dirinya dalam perjanjian kemitraan karena mereka ingin menggunakan jasa pengelolaan aplikasi transportasi online yang dimiliki oleh prinsipal, dan mitra juga memiliki “kontribusi” dalam perjanjian kemitraan tersebut, yaitu kendaraan miliknya sendiri. Di samping itu perlu juga diatur dengan jelas bagaimana prosedur pembayaran atau pembagian hasil dari prinsipal kepada mitra.
2. Penggunaan Istilah Dalam Perjanjian
Kesalahan lain yang seringkali terjadi pada saat merumuskan suatu perjanjian kemitraan adalah terkait pengunaan istilah dalam perjanjian tersebut. Mengingat perjanjian tersebut merupakan perjanjian kemitraan, maka istilah-istilah dalam Undang-undang Ketenagakerjaan haruslah dihindari agar tidak menimbulkan kerancuan. Contoh istilah-istilah yang sering digunakan secara keliru dalam suatu perjanjian kemitraan, yang membuat perjanjian tersebut dianggap perjanjian kerja adalah:
- Pemberi kerja
- Pekerja
- Upah
- Jam kerja
- Cuti
Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah “mitra” dianggap sebagai “pekerja” atau “karyawan” dari prinsipal. Misalnya: perjanjian kemitraan menyebutkan bahwa prinsipal “akan menentukan jumlah hari istirahat/cuti dari mitra, dan untuk mengambil cuti tersebut, mitra membutuhkan persetujuan dari prinsipal”. Dalam contoh kasus lainnya, prinsipal bahkan memberikan slip gaji ke mitra. Contoh lain adalah saat terjadi penyelundupan hukum dari pelaku usaha yang sengaja mencoba menggunakan perjanjian kemitraan, padahal pekerjaan yang dilakukan oleh mitra tersebut merupakan pekerjaan inti/utama dari bisnis prinsipal (misalnya: perusahaan pembuat sepatu mencoba untuk mempekerjakan pembuat sepatu melalui perjanjian kemitraan).
Terkait dengan penerapan perjanjian kemitraan dari sisi hukum, kami memperhatikan ada putusan pengadilan dimana suatu perjanjian kemitraan dianggap sebagai perjanjian kerja yang memutuskan bahwa prinsipal wajib untuk membayar pesangon (sebagai contoh dalam perkara Hendrawan v PT Punirar Jaya - Perkara No. 147/PHI.G/2012/PN.JKT.PST). Namun demikian, terdapat pula putusan pengadilan dimana hakim memutuskan bahwa perjanjian kemitraan berlaku dan tidak dapat dianggap sebagai perjanjian kerja, karena unsur hubungan kerja (yaitu pekerjaan, upah dan perintah) tidak terpenuhi dalam hubungan kemitraan tersebut.
Secara teori, perjanjian kemitraan murni tidak akan menimbulkan hubungan kerja antara prinsipal dan mitra. Namun demikian, tidak terdapat aturan yang spesifik mengenai hal ini dan dalam praktiknya, penggunaan perjanjian kemitraan kerap menimbulkan perselisihan antara para pihak terutama apabila pasal-pasal yang tercantum dalam perjanjian membuka ruang interpretasi dikarenakan ketentuan yang tidak membedakan perlakukan individu sebagai mitra atau karyawan.
Untuk menghindari atau mengurangi risiko terjadinya perselisihan, maka perlu diperhatikan hal-hal yang akan diatur dalam perjanjian kemitraan terutama perjanjian tersebut harus secara tegas mengatur hubungan hukum antara prinsipal dan mitra yang merupakan suatu hubungan bisnis murni dan bukan hubungan ketenagakerjaan sebagaimana penjelasan tersebut di atas. Perlu diingat bahwa setiap hubungan kemitraan dapat berbeda antara satu dengan lainnya dan tentunya kebiasan atau praktik pada suatu industri tertentu perlu diperhatikan. (adv)
Penulis: Lia Alizia (Managing Partner) (Lia.Alizia@makarim.com) dan Harris Toengkagie (Partner) (Harris.Toengkagie@makarim.com) pada Kantor Hukum Makarim & Taira S.
Publikasi ini dipersiapkan oleh kantor hukum Makarim & Taira S. Publikasi ini hanya membahas secara umum topik tersebut di atas dan oleh karena itu, tidak dapat dianggap sebagai suatu opini hukum ataupun dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan bisnis atau investasi apapun.
Load more