“Hukum adalah perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu masyarakat dan dipromulgasikan”, demikianlah definisi mengenai hukum dari Thomas Aquinas.
Definisi ini tetaplah merupakan definisi yang lengkap, tetap actual, relevan dan tidak terbantahkan. Hukum merupakan perintah yang logis. Kalau ada hukum yang tidak logis, maka hukum itu bertentangan dengan eksistensinya sendiri. Kelogisan hukum itu dapat diverifikasikan dalam kalimat-kalimat yang tertuang dalam perumusan suatu tata aturan.
Lebih lanjut Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan hukum adalah tidak lain dari kesejahteraan umum. Rakyat dalam suatu Negara haruslah menikmati kesejahteraan umum itu.
Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum adalah Pemerintah yang mengkhianati mandat yang diembannya dan hal itu bertentangan dengan dirinya sendiri. Sebab Pemerintah haruslah melaksanakan roda jalannya suatu Negara demi kesejahteraan umum antara lain melalui hukum-hukumnya yang adil dan bijaksana.
Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan adanya hukum, juga merupakan suatu prasyarat adanya masyarakat atau negara yang memperhatikan rakyatnya. Kesejahteraan umum itu meliputi, antara lain, keadilan, perdamaian, ketenteraman hidup, keamanan dan jaminan bagi warganya.
Thomas Aquinas menunjukkan betapa pentingnya hukum sebagai salah satu sarananya. Dalam rangka itu, hukum haruslah adil dan memperjuangkan keadilan. Hukum yang tidak adil bertentangan dengan hakikat hukum, dan haruslah diubah agar mencapai sasarannya, yakni kesejahteraan umum.
Landasan hukum Hak asasi Manusia merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok- pokok pikiran yang diciptakan dan dijelmakan dalam batang tubuh UUD 1945 yaiu dalam pasal-pasalnya. Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum dasar adalah norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan tentunya tidak boleh bertentangan dengan hukum dasar.
Menurut penulis bahwa uraian tersebut yang menjadi alasan sehingga Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan dalam pembentukan undang- undang yang dikemas dan bentuk landasan Landasan Sosiologis(Sociologische Grondslag).
Menurut penulis bahwa pembentukan undang- undang yang demokratis ditandai dengan adanya pastisipasi masyarakat. Selain itu, bahwa partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan melalui unjuk rasa atau demonstrasi apabila diperlukan.
Penolakan Hukuman Mati Bukan Penolakan Penghukuman
Hukuman mati sebagai salah satu legal hukum di Indonesia kembali diperbincangkan dan menjadi suatu kontroversi. Kontroversi ini muncul manakala vonis pengadilan dirasa kurang adil terutama bagi pelaku dan orang-orang yang selama ini menentang hukuman mati.
Pihak yang menolak hukuman mati menganggap hukuman tersebut melanggar HAM, UUD 45 dan tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang. Mereka yang menaruh kepedulian terhadap HAM senantiasa berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup merupakan pelanggaran terhadap HAM dan merampas hak hidup yang merupakan hak dasar dan tidak tergantikan dalam diri seseorang.
Sementara pihak yang setuju beralasan bahwa hingga saat ini hukuman mati masih sangat relevan untuk diterapkan terutama terhadap suatu kejahatan yang sangat biadab dan membahayakan orang banyak.
Pihak yang setuju menegaskan bahwa penolakan terhadap hukuman mati hanya berlaku pada sisi si pelaku saja, tanpa melihat sisi kemanuisan dari korban, keluarga dan masyarakat yang bergantung kepada si korban.
Kontroversi kedua belah pihak tidak pernah selesai jika keduanya masih mempertahankan argumentasinya masing-masing.
Penerapan Pasal Tuntutan hukuman mati kepada Ferdi Sambo, Putri Chandrawati dkk, yang menjadi terdakwa pembunuh Brigadir Yoshua Hutabarat adalah sudah tidak dapat diterapkan lagi di Negara ini, mengingat Hukuman tersebut sangat bertentangan dengan Konstitusi kita khususnya di atur dalam Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945.
Penerapan hukuman mati tidak bisa diterapkan di tengah sistem peradilan di Indonesia yang belum independen dan korup bahkan masih menjadi ruang bebas gerak para mafia peradilan.
Apalagi proses hukum terhadap kasus pembunuhan yang menjerat Irjen Pol Ferdi Sambo ini berkembang menjadi situasi yang sangat politis dan mengarah kepada penghakiman massa sebelum adanya putusan Pengadilan yang memberikan Putusan terhadap peristiwa yang di tuduhkan kepada yang bersangkutan.
Praktik di Beberapa Negara
Dalam studi PBB tentang hukuman mati di beberapa negara di dunia, kerentanan intervensi atas proses hukum pada peradilan yang berlangsung akan menjadi salah satu penyebab dilarangnya penerapan hukuman mati.
Bahkan, proses hukum bisa dihentikan jika ditemukan adanya bukti terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan.
Lebih jauh, pilihan model penghukuman mati masih dipertanyakan sehubungan dengan dampak terhadap efek jera. Penghukuman dalam konteks ini masih menimbulkan perdebatan cukup panjang menyangkut makna moral yang harus diusung atas diberlakukannya hukuman mati.
Studi sosial dari berbagai studi PBB tentang hukuman mati pun membuktikan bahwa hukuman mati tidak berjalan lurus dengan berhentinya angka kekerasan.
Di Indonesia sendiri, ada banyak catatan peristiwa tentang kesalahan penerapan hukum yang justru menimbulkan ketidakadilan bagi para korbannya.
Dalam hal ini, penulis juga mempertanyakan sikap Polisi dan Jaksa yang menerapkan tuntutan yang berbeda standar dan diskriminatif dalam beberapa kasus tertentu, Jaksa menuntut mati terdakwanya. Penulis menengarai langkah Polisi dan Jaksa ini merupakan upaya untuk memulihkan citranya di tengah sorotan tajam masyarakat saat ini.
bahwa secara prinsipil, penerapan hukuman mati melanggar konstitusi dan prinsip dasar hak asasi manusia. Hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam bentuk apapun.
Maka perlu ditegaskan bahwa menolak hukuman mati bukan berarti menolak penghukuman orang yang bersalah. Para terdakwa yang terbukti melakukan pembunuhan memang harus dihukum maksimal.
Namun, penghukuman tidak boleh menegasikan hak-hak mendasar dari individu. Untuk itu Pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan moratorium terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia.
Meluruskan Penolakan Hukuman Mati
Menjelang eksekusi terpidana mati Tibo cs, ada kelompok Ornop HAM menolak diberlakukannya hukuman mati terhadap siapapun di Indonesia. Penolakan hukuman mati tersebut berdasarkan prinsip-prinsip HAM Nasional dan Internasional sebagaimana yang juga terkandung dalam konstitusi 1945 yang menjamin hak hidup bagi semua warga negaranya.
Atas dasar itu, penolakan diberlakukannya hukuman mati atas semua kasus yang di vonis hukuman mati adalah penolakan yang murni berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, hak asasi manusia dan konstitusi 1945.
Sejalan dengan itu, prinsip dijaminnya hak hidup atas semua warga negaranya yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun secara tegas dijamin oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara telah menjamin dalam Pasal 28 A Amandemen ke dua (2) bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dankehidupannya”.
Pasal 28 I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) juga menjamin hal yang sama bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Jaminan hak hidup tersebut dikuatkan kembali oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Selain itu instrumen internasional hak sipil politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No. 12 tahun 2005 juga menegaskan bahwa: “Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya dan hak ini wajib dilindungi oleh hukum”
Oleh karena itu ketentuan dan jaminan hak hidup sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 harus di lihat dari dua arah yaitu :
Pertama, ketentuan dan jaminan hak hidup sebagaimana yang diatur dalam konstitusi seharusnya menjadi pedoman bagi Lembaga Penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan.
Kedua, ketentuan UUD 1945 yang menjamin hak hidup bagi setiap orang juga seharusnya bisa menjadi pedoman bagi lembaga peradilan. Karena dari aspek sosiologis membuktikan tidak ada jaminan efek jera dalam penerapan hukuman mati, hukuman mati tidak mengurangi tindak kejahatan. Artinya ada faktor lain yang menjadi penyebab meningkatkan sebuah tindak kejahatan yaitu meningkatnya kemiskinan penduduk, aparat yang korup dan faktor-faktor struktural lainnya.
Pro dan kontra ini tidak akan berkhir sampai kapanpun. Oleh sebab itu, pengadilan dalam menetapkan vonis hukuman mati harus dilakukan dengan hati-hati dan sangat terbatas. Keputusannya pun harus diambil secara bulat dan berkekuatan hukum hingga tidak menciptakan keresahan di masyarakat.*
* Oleh: K Sangaji, Advokat dan Mahasiswa Magister Hukum UGM Jakarta.
Load more