Mereka lebih memilih untuk bekerja di kota-kota besar, dengan penghasilan yang tidak menentu, ketimbang harus turun ke sawah bercocok tanam padi.
Fenomena seperti ini, tentu bukan hanya terjadi di negara ini. Pada tahun 1960-an, Negara Matahari Terbit pun mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi di Indonesia.
Para pemuda Jepang lebih tertarik untuk meninggalkan profesi petani dalam menyambut masa depan kehidupannya. Mereka tidak terpanggil untuk jadi petani, karena bekerja di kantoran, dianggap lebih keren dan bergengsi.
Penghasilan tidak lagi menjadi ukuran. Biarpun gaji kecil asalkan mereka bekerja di gedung menjulang tinggi, lengkap dengan Air Condition, memakai stelan jas dan dasi, rupanya lebih diminati mereka dari pada bekerja di sawah sebagai petani, sekalipun penghasilan menjadi petani, lebih tinggi ketimbang bekerja di kantoran. Kaum muda Jepang saat itu memilih gengsi dibandingkan dengan penghasilan yang diperolehnya.
Perubahan tata nilai dan kehidupan masyarakat perdesaan semacam ini, tentu saja menuntut kepada perubahan paradigma dari kebijakan Penyuluhan Pertanian yang selama ini dilaksanakan di Indonesia.
Penyuluh Pertanian
Para Penyuluh Pertanian di lapangan, perlu menggali dengan cermat faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan tersebut. Penyuluh Pertanian harus cerdas dalam melahirkan solusi atas perubahan yang sedang berlangsung.
Load more