tvOnenews.com - Timnas Indonesia sejatinya tak pernah kehabisan mendapatkan talenta-talenta hebat yang sudah bersinar sejak usia muda. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang layu sebelum berkembang.
Terdapat banyak hal yang menyebabkan para wonderkid itu gagal bersinar ketika memasuki usia senior sehingga tersingkir dari level pemain profesional.
Beberapa di antaranya layu sebelum berkembang karena cedera, kesulitan adaptasi, hingga kesulitan mengelola emosi atau tempramental.
Nama Syamsir Alam sudah melejit sejak masih berusia belia. Pemain kelahiran Kabupaten Agam ini sudah terpilih sebagai pemain muda yang diberangkatkan untuk mengikuti program pembinaan Sociedad Anonima Deportiva atau SAD di Uruguay.
Syamsir menjawab kepercayaan itu dengan tampil gemilang bersama tim SAD pada 2008. Dia berhasil mengoleksi 15 gol dari 29 pertandingan. Perkembangan karir Syamsir amat menggiurkan.
Dari sana dia mendapatkan tawaran dari klub Eropa CS Vise. Syamsir pun merumput di divisi 2 Liga Belgia. Pada tahun 2013 Syamsir Alam mendapat panggilan dari klub Amerika Serikat DC United.
Namun dari sini performa Syamsir Alam terus tergerus. Tidak ada lagi hal hebat yang bisa ditunjukkan oleh Syamsir. Saat dipanggil Timnas Indonesia, dia juga tidak memenuhi ekspektasi.
Ia dianggap sebagai penyerang yang tumpul dalam mencetak gol. Saat akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia kariernya tetap saja mandek. Sempat bergabung dengan Sriwijaya FC, Syamsir Alam hanya menjadi penghangat bangku cadangan.
Daripada memperbaiki performanya di dalam lapangan, Syamsir Alam justru lebih memilih kegiatan di dunia layar kaca hingga akhirnya dia sempat memutuskan untuk pensiun dini di usia 26 tahun, melepas atribut lapangan hijau yang sudah membesarkan namanya.
Namun belakangan Raffi Ahmad dan Hamka Hamzah berhasil membujuk Syamsir untuk kembali merumput, kali ini bersama RANS Nusantara FC pada 2021.
Yandi Sofyan Munawar
Yandi Sofyan hadir di generasi yang sama dengan Syamsir Alam. Sama-sama merupakan jebolan dari SAD Indonesia. Dia punya potensi untuk berkembang lebih jauh dan mengikuti jejak sang kakak Zainal Arif.
Yandi Sofyan juga sempat bermain di Eropa bersama Vise dan tim Australia Brisbane Roar. Namun perkembangannya tidak terlalu menjanjikan. Ia kemudian memulai karier di tanah air, dua musim bersama Persib Bandung lalu pindah ke Bali United.
Performa Yandi Sofyan tidak kunjung membaik terhitung sejak Januari 2019 dia sudah tidak memiliki klub lagi. Setelah dua tahun menganggur Yandi Sofyan sempat masuk skuad Persikota Tangerang dan Persikabo 1973.
Arthur Irawan pernah digadang-gadang sebagai bakat Indonesia yang akan berkarir di liga top Eropa. Sewaktu muda dia menimba ilmu di klub La Liga seperti Espanyol dan Malaga.
Arthur bahkan sempat merasakan dilatih oleh Mauricio Pochettino yang dikenal sangat perhatian dengan pemain muda.
Namun karier Arthur Irawan tidak secemerlang itu. Dia sempat bermain klub asal Belgia Waasland Ambeven sebelum 2017 memulai karir di Indonesia bersama Persija Jakarta, lalu kemudian pindah ke Borneo FC, pindah lagi ke Persebaya Surabaya, dan sempat bermain untuk PSS Sleman.
Yongki Ariwibowo adalah bintang muda yang namanya melejit ketika bermain untuk Persik Kediri. Pelatih Timnas Indonesia kala itu Alfred Riedl langsung memasukkan nama Yongki Ariwibowo ke dalam skuad timnas untuk ajang Piala AFF 2010.
Selanjutnya Yongki menjadi nama yang cukup sering dipanggil untuk membela Timnas Indonesia. Namun sama seperti wonderkid gagal lainnya ada masa ketika nama Yongki mulai hilang dari peredaran.
Dia tidak lagi dipanggil timnas dan prestasi di level klub juga tidak terdengar. Saat ini Yongki masih aktif bermain sebagai pemain sepakbola profesional.
Dia cukup sering berpindah-pindah klub dan sempat bergabung dengan Badak Lampung yang sedang berjuang di Liga 2.
Piala AFF 2010 memang dipenuhi dengan banyak harapan. Selain Yongki Ariwibowo ada juga Oktovianus Maniani. Alfred Riedl sampai memberikan nomor punggung 10 kepada Okto yang saat itu masih berusia 20 tahun.
Kehadiran Okto Maniani di lapangan berhasil menambah kesegaran permainan Timnas kala itu. Okto sebenarnya pemain sayap yang berbakat. Dia punya modal kecepatan dan akselerasi yang tinggi, serta tidak sungkan untuk duel satu lawan satu dengan pemain lawan.
Sayangnya karier Okto Maniani mulai pudar saat dia gagal menjaga konsistensinya. Dia juga tipikal pemain yang sering berpindah klub. Sejak era terakhir keemasan yaitu pada 2011 hingga 2022 Okto sudah membela delapan klub.
Faktor lain yang membuat karir Okto Maniani sulit untuk berkembang yaitu karena dia sangat tempramental. Ketika bermain untuk Persewar Waropen di Liga 2 Okto yang sedang emosi menusuk wasit menggunakan gagang bendera.
Karena aksi itu Okto Maniani diganjar hukuman oleh komdis PSSI berupa larangan bermain selama enam bulan.
Itu tadi lima wonderkid Timnas Indonesia yang meredup di usia senior alias layu sebelum berkembang. (amr)
Load more