"Pertama, adalah soal perencanaan. Ada antara perencanaan dan implementasi hanya ada waktu yang sangat mepet. Untuk FIFA ini harus tepat penerimaannya. Misalnya, jika perencanaannya 70 persen, maka implementasinya juga harus 70 persen. Lalu, kalau rencananya A ya implementasinya juga harus," katanya.
Kedua, adalah perbedaan sistem manajemen di FIFA dan di Indonesia, terutama di beberapa kementerian atau lembaga yang tidak sama. Sehingga monitoringnya dinilai sedikit menyulitkan FIFA.
"Jadi butuh sistem yang lebih terukur lagi, yang bisa menyelaraskan dengan sistem FIFA. Karena sistem di Indonesia, bukan hanya di PSSI saja, tetapi di kementerian atau lembaga juga memiliki sistem yang beragam," tuturnya.
"Evaluasi ketiga adalah harus ada progres. Bagaimana dari 50 pertandingan yang telah berjalan berprogres. Bukan masalah menangnya, tetapi bagaimana kami memiliki perubahan dari berbagai sisi penyelenggaraan. Misalnya, karena ini kompetisi maka utamanya adalah sisi sepak bolanya, yang mana di setiap pertandingannya kualitasnya selalu semakin lebih baik," tambahnya.
Menurutnya, dari FIFA banyak yang bisa ditingkatkan tapi perubahan itu tidak bisa dilakukan secara radikal. Ada beberapa sektor yang dinilai bisa ditingkatkan, seperti di area fan services, security, match operation, serta cara pemisahann match operation seperti apa dan lain-lain.
"Exraordinary selama penyelenggaraan tidak ada. Ini kita tidak bahas masalah JIS ya karena itu case extraordinary. Dengan waktu mepet, kami dapat memenuhi kebutuhkan rumput untuk lapangan yang bisa menahan banyak pertandingan yang digelar di sana," ujarnya.
"Total ada 16 pertandingan dalam 15 hari penyelenggaraan. Ini extra, karena biasanya 16 gim itu dilakukan dalam empat bulan untuk menjaga kualitas rumput. Untuk case ini, kami mendapatkan expert bukan hanya dari FIFA tapi dari negara lainnya, seperti Australia. Khusus untuk cara penanganan JIS untuk pitch manajemen saya acungkan jempol," tukasnya. (hfp)
Load more