Jakarta, tvOnenews.com - Kumandang tadarus, Salat Tarawih, hingga ceramah selama Ramadan tidak diperkenankan keluar tembok masjid.
Beragam keresahan disuarakan cukup sengit. Bukankah ‘bisingnya’ Ramadan justru yg dirindukan? Sebagai pembeda dari 11 bulan lainnya.
Bagaimana pula dengan larangan politik sebagai materi ceramah? Benarkah negara terlalu membatasi ruang gerak umat beragama?
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH. Marsudi Syuhud menanggapi bahwa hal ini harus dilihat dari sejarah perjalanannya.
Yang dimana sebelum adanya toa, alat yang dipergunakan untuk pengingat salat adalah bedug lalu mimbar.
Lalu berkembang menjadi menara dan seiring dengan berjalannya waktu pengeras suara menjadi budaya untuk pengingat waktu salat.
KH. Marsudi Syuhud pun menjelaskan dalam ilmu Fiqih, suatu hukum bisa berubah dikarenakan perjalanan waktu dan berbeda tempat. Simak selengkapnya hanya di Catatan Demokrasi, tvOne. (ayu)