Jakarta, tvOnenews.com - Aksi pembunuhan sadis disertai Mutilasi dilakukan Tarsum kepada istrinya menggegerkan warga Ciamis. Pasalnya ia juga menawarkan daging mutilasi kepada tetangganya.
Penangkapan tersangka juga berlangsung dramatis karena tukang jagal tersebut melakukan perlawanan.
Dugaan motif pembunuhan mencuat dari utang ratusan juta, judi online hingga orang dengan gangguan jiwa.
Lalu, apa yg terjadi hingga menyebabkan peristiwa sadis ini?
Dr Rismiati Kusma atau Ibu Teti, seorang Psikolog mengatakan bahwa jika membicarakan mengenai mutilasi, masyarakat harus bisa membedakan pembunuhan dan mutilasi.
“Berdasarkan yang saya paham, mutilasi itu dampak lanjutan. Pembunuhan itu menghabisi nyawa seseorang, mutilasi itu dampak kelanjutan dari pembunuhan. Jadi memang ini harus ada saksi yang melihat bagaimana dia melakukan mutilasi ini,” tutur Teti.
Menurut Teti dalam kasus ini, pelaku melakukan mutilasi secara spontan, tanpa dipikir panjang tetapi ada kebencian atau perilaku agresi.
“Saya duga di dalam diri pelaku ini ada satu hal yang disebut dengan mungkin ada hostility, ada kebencian. Ini mencirikan perilaku agresi, karena memotong membunuh itu bisa di bisa disatukan atau bisa dikelompokkan ke dalam kelompok tindak agresi ketika seseorang mengalami kecewa,” ucapnya.
Teti pun menyebutkan jika seseorang dapat melakukan aksi sekeji ini, pasti intensitas kekecewaannya sangat tinggi.
“Karena kalau lihat dari reaksinya, ini muncul dalam reaksi yang mencerminkan aku sudah tidak kuat dengan kondisi kehidupan yang membuat dia frustrasi,” ucapnya.
Penyebab pelaku memutilasinya menurut Teti yang harus dicari.
“Pencetusnya yang harus kita lihat. Penyebabnya ya, stimulasinya. Apa yang membuat dia sampai agresinya tergugah,” kata Teti.
Menurut Teti, pelaku tidak lari, tidak kabut dan tidak menyembunyikan apa yang dilakukan.
Saat ini, pelaku masih dalam tahap shock sehingga belum dapat melihat secara jelas dan menerima apa yang sebenarnya dirinya lakukan.
“Dua minggu pertama itu sebenarnya kalau kalau misalnya memburuk artinya dia ibarat hilang akal, tidak bisa mengenali orang-orang sekitarnya, bisa sampai di tahap itu, itu yang disebut dia kena syok yang sifatnya kronis,” ucap Teti.
Namun menurut Teti, dalam waktu 3 hingga 6 bulan, jika pelaku sudah dapat menerima atau pada tahap acceptance, maka dirinya akan bisa bangkit kembali.
Jika tidak, maka hal yang terjadi adalah agresinya akan tetap terlihat dan lebih parah, atau akan diam saja.
“Dalam waktu 3 bulan 6 bulan dia akan bangkit kembali. Nah tetapi kalau dia tidak bisa (menerima), apa yang terjadi? Dia kalau nggak (menerima) tadi agresi, jalan ke sana, ke sini mungkin ngerusak apa, atau diam seperti batu,” tutur Teti. (awy)