Jakarta - Pasca tragedi KRI Nanggala-402, rencana modernisasi Alat Utama Sistem Persenjataan TNI menjadi sorotan. Banyaknya persenjataan Indonesia yang telah usang dianggap menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan ketika sedang bertugas.
Menurut pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, buramnya sistem persenjataan Indonesia karena kurangnya niat dan visi dari pemerintah.
Menurut Connie, adanya salah pemahaman terhadap pertahanan suatu negara. Seolah-olah sekarang perang yang dianggap lebih penting adalah perang nonkonvensional. Saat ini dianggap lebih banyak operasi militer non perang dibanding operasi perang.
“Seolah-olah anggaran pertahanan tidak perlu besar-besar. Sekarang ini, anggaran pertahanan itu hanya semacam keharusan saja. Kita lupa bahwa operasi militer non perang seperti masalah perbatasan, teritorial, lingkungan, alam, narkoba, radikalisme, terorisme, dan keamanan siber itu dianggap ancaman yang tidak terlalu membutuhkan kekuatan militer,” tutur Connie
Padahal menurut Connie, saat ini kita hidup di era proxy, dimana teknologi memberikan kekuatan yang sama kepada semua negara baik negara yang dianggap lemah dan juga negara yang dianggap kuat.
Namun, fakta yang tidak akan terbantahkan adalah ketika negara mampu memodernisasi militernya, maka negara tersebut mampu menghalangi dan menghalau musuh yang berniat untuk mengganggu.
Connie juga menambahkan, Indonesia harus memiliki strategi jangka panjang dengan cara meningkatkan komando, meningkatkan intelijen, meningkatkan komunikasi, dan juga meningkatkan pengembangan senjata.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan mengungkapkan bahwa banyak faktor kendala yang membuat lambatnya peremajaan alutsista TNI.
Salah satunya adalah sulitnya penyatuan visi maritim karena menurut Farhan, sampai hari ini ada 13 lembaga yang tumpang tindih dalam kewenangan di wilayah perairan Indonesia.
“Memang ada banyak kendala, terutama tentang penyatuan visi maritim itu sendiri. Sampai hari ini saja ada 13 lembaga yang tumpang tindih dalam wilayah Indonesia,” tutur Farhan.
Farhan menambahkan, untuk kewenangan perairan Zona Ekonomi Eksklusif saja, kewenangan TNI lumpuh karena harus berhadapan dengan lembaga lain seperti Kementerian Perhubungan, Badan Keamanan Laut RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bea Cukai, Imigrasi, juga lembaga lain yang terkait.
Menurut Farhan, jika Presiden ingin membangun poros maritim dunia, maka perlu diperbaiki kewenangan yang berlaku. Penting sekali untuk memberikan kepastian hukum kepada lembaga mana saja yang memiliki kewenangan jika berbicara soal perairan dan kelautan. (awy)
Lihat juga: Tanggapi Kondisi Alutsista, M. Farhan: Bukan Peremajaan Lagi yang Dibutuhkan tapi Total Overhaul