Jakarta - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang didanai dari China serta APBN terus disorot. Proyek tersebut dikhawatirkan jadi
Jebakan utang dan berujung dengan adanya konsesi tambahan untuk pihak China.
Pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terus jadi polemik karena muncul kekhawatiran jadi jebakan utang untuk Indonesia. Pasalnya pemerintah kini juga ikut menyuntikkan modal melalui APBN.
"Kereta cepat Jakarta-Bandung terindikasi masuk dalam jebakan hutang atau debt trap. Salah satu indikasinya adalah pada waktu uji kelayakan atau feasibility studies yang dilakukan ini awalnya adalah business-to-business kemudian menjadi pendanaan APBN dengan pembengkakan biaya yang sangat luar biasa," ujar Bhima Yudistira.
Pengamat ekonomi ini juga mengatakan model proyek yang sebenarnya tak lulus uji kelayakan namun tetap dipaksakan itu juga terjadi di berbagai negara di seluruh dunia.
Dalam
Belt and road initiative (BRI), China menggelontorkan sejumlah uang yang bernilai masif untuk membiayai proyek
Infrastruktur di negara peminjam. Namun karena memang sejak awal proyek tersebut tak layak, maka negara debitur tak mampu membayar dan berakhir memberikan konsesi tertentu kepada China sebagai kreditur.
Melalui skema ini China telah berhasil mengambil alih beberapa infrastruktur vital di beberapa negara bahkan memaksa negara lain menggunakan Yuan sebagai mata uang negaranya.
"Ketika proyek mengalami problem, proyek stuck (mangkrak), atau proyek kemudian mengalami kenaikan biaya yang luar biasa maka ini akan menjadi jebakan. Karena Indonesia kemampuan bayarnya melemah maka mau tidak mau harus meminta pinjaman lagi. Di sinilah debt trap bekerja. Ketika meminta pinjaman baru lagi, bukan hanya soal bunganya atau berapa besar cicilan atau tenor pinjamannya tapi yang dikhawatirkan adalah adanya konsesi-konsesi lain yang akhirnya diberikan kepada pihak kreditur," jelas Bhima lagi.
Dari keterangan PT Kereta Cepat Indonesia-China, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung 75% atau hampir 65 triliun rupiah didanai Bank Pembangunan Cina. Sementara 25% berasal dari ekuitas konsorsium di antaranya alokasi penyertaan modal negara 3,4 triliun rupiah. (afr)