Jakarta, tvOnenews.com - Tuntutan JPU terhadap Johannes Rettob dinilai tutup mata dan abaikan realitas atau fakta persidangan. Hal itu setelah Jaksa dalam persidangan lanjutan dengan agenda penuntutan Jaksa pada Selasa (22/8/2023) di pengadilan Tipikor Jayapura.
Tuntutan setebal 223 halaman yang dibacakan jaksa, Jhon Ilef, bahwa terdakwa Johannes Rettob dijatuhkan hukuman penjara selama 18 tahun 6 bulan. Tuntutan yang sama pula kepada Silvi Herawati yakni 18 tahun 6 bulan.
Menanggapi tuntutan yang dinilai suatu pembalasan bukan mengedepankan sisi humanis, Ketua DPD Generasi Muda Kosgoro Kabupaten Mimika pun angkat suara terkait tuntutan Jaksa kepada terdakwa Johannes Rettob dan Silvi Herawati.
"Tuntutan Jaksa ini seolah-olah ada tendensi politik karena dalam fakta persidangan semua publik telah mengikuti sejak perkara ini di sidangkan terungkap dalam fakta persidangan bukan kasus pidana melainkan perdata, lalu ada apa dengan JPU yang begitu emosional dalam menuntut kedua terdakwa," tegas Iwan Makatita, Kamis (24/8/2023).
Pria asal Seram, Ternate itu kemudian mencurigai Sikap JPU yang dinilai ada muatan politik dalam perkara ini sejak awal.
"Coba kita kandingkan dengan tuntutan JPU terhadap Jaksa PINANGKI yang telah terbukti melakukan 3 (tiga) tindak pidana kelas kakap sekaligus yakni menerima suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat, namun hanya dituntut 4 tahun tahun penjara saja," katanya.
Tingginya tuntutan JPU terhadap JR dan SH dibandingkan dengan tuntutan kepada Jaksa PINANGKI adalah gambaran nyata sikap diskriminatif Kejaksaan terhadap kedua terdakwa dan menutup mata terhadap realitas.
Tuntutannya JPU juga telah abai terhadap komitmen Kejaksaan Agung RI dalam PERJA No. 15 Tahun 2020 yang telah mengedepankan sisi humanis dan pemulihan keadaan daripada pendekatan pembalasan.
Dalam Pedoman Jaksa Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Untuk perkara tindak pidana dimana perempuan dan/atau anak sebagai pelaku, JPU harusnya mempertimbangkan keadaan khusus yang melatarbelakangi tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan dan/atau anak dengan memperhatikan, diantaranya, riwayat kekerasan yang pernah dialami, kondisi psikologis, posisi dalam kelompok rentan, kondisi stereotip gender dan relasi kuasa, dan/atau kondisi lain yang melatarbelakangi.
Demikian berdasarkan alat bukti terhadap keadaan khusus dimaksud Penuntut Umum dapat menggunakannya sebagai pertimbangan sebagai alasan pembenar, meniadakan kesalahan, ataupun keadaan yang meringankan.
Satu-satunya harapan adalah putusan Majelis Hakim yang olehnya itu Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo diharapkan akan memberikan putusan dengan pendekatan Restorative Justice (Keadilan yang memulihkan) yang telah menjadi salah satu arah kebijakan dan strategi bidang penegakan hukum dalam RPJM Nasional 2020 – 2024 (Perpres No. 18/ 2020). (ebs)
Load more