Denpasar, Bali - Adanya isu kenaikan tarif Visa on Arrival (VoA) hingga tiga kali lipat, menjadi Rp1,5 juta membuat resah pelaku pariwisata di Bali. Mereka menilai kenaikan akan memberatkan wisatawan yang datang ke Bali, dan kontra produktif dengan kebijakan pemulihan Pariwisata.
Penolakan wacana kenaikan tarif VoA digaungkan para pelaku pariwisata Bali, yang tergabung dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), yang menolak adanya rencana kenaikan VoA tiga kali lipat itu.
"Saya, baru menerima selebaran saja tapi kalau itu jadi, kita protes. Iya, kita industri menolak karena pariwisata baru menggeliat," kata Ketua GIPI Bali, Ida Bagus Agung Partha Adnyana, saat dihubungi, Kamis (14/4).
Ia menerangkan, bahwa pihaknya belum paham selebaran itu dari mana, karena tidak ada kop surat tapi terlihat resmi.
"Belum paham, kita itu dapat selebarannya. Artinya, belum kita pastikan dari mana karena tidak ada kop surat, atau apa. Tapi seperti resmi dan itu membingungkan juga," imbuhnya.
Ia juga mengirimkan isi dari selebaran tersebut dan tertulis, Isi Nota Dinas No. IMI 1-KU.01.03-066, mulai tanggal 16 April 2022.
Kenaikan Harga PNBP untuk :
1. Visa Kunjungan sekali perjalanan paling lama 60 hari menjadi Rp2.000.000
2. Visa Saat Kedatangan menjadi Rp1.500.000
3. Memperkenalkan jenis visa kunjungan baru atau dan ITAS Non Kerja yang lebih panjang periode staynya.
Kemudian, Contents of Official Note No. IMI 1-KU.01.03-066. Starting April 16, 2022
PNBP Price Increase for
1. Single Entry visit visa for a maximum of 60 days becomes Rp. 2,000,000
2. Visa on Arrival to Rp.1,500,000
3. Introducing a new type of Visit Visa / and Non-Work ITAS with a longer stay period.
Menurutnya, isi surat di atas itu bila memang benar diberlakukan akan menggangu persaingan Bali untuk memperoleh calon Wisatawan Mancanegara (Wisman) dengan para pesaing, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja dan lainnya.
"Justru, ini sangat menganggu kompetitif kita, dan mengurangi daya saing Bali, dan orang jadi mengurungkan (berwisata) ke Bali," jelasnya.
Pihaknya juga dengan tegas akan menolak bila kebijakan tersebut diberlakukan. Karena, menurutnya pariwisata di Bali baru saja menggeliat dan target belum sesuai.
"Target kita 3000 per hari (wisman) belum tercapai, baru 1500. Itupun baru beberapa hari, baru seminggu. Dan terlalu prematur untuk hal-hal yang begituan," ujarnya.
"Harapannya, iya agar tidak terjadi. Kita kan sering komunikasi dengan pemerintah pusat. Saya pikir Menteri Pariwisata, BUMN tidak setuju, saya yakin kementerian tidak setuju, cuman iya harus disuarakan oleh industri," ujarnya.
Sementara itu, dikonfirmasi berbeda, Wakil Ketua Bidang Budaya Lingkungan dan Humas Badan Pengurus Daerah PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan, bahwa memang benar ada isu dan wacana seperti itu tapi belum berlaku.
"Belum berlaku sampai saat ini dan belum ada regulasinya. Iya itu baru isu," kata dia.
Pihaknya juga belum mengetahui isu tersebut dari mana. Tapi kemungkinan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Itu kalau (tidak salah) Kemenkumham. Tapi jelasnya saya belum tau," ujarnya.
Ia juga menerangkan, bahwa VoA itu berlaku 30 hari bagi wisman ke Bali dengan membayar Rp500 ribu per orang. Namun, bila 60 hari biaya bisa mencapai Rp1 juta.
"Biasanya, rata-rata tamu-tamu itu 30 hari. Paling dia tinggal di sini dia menghabiskan dua dan tiga minggu tinggal disini," jelasnya.
Menurutnya, wajar saja bila pelaku industri di Bali menolak adanya kebijakan tersebut. Karena, saat ini masih memberikan relaksasi untuk wisman yang mulai datang. Selain itu, pertimbangannya harus dibandingkan dengan negara pesaing lainnya seperti Thailand.
"Jadi, wajar mereka menolak kalau mereka (wisman) kesini sama keluarga empat orang begitu, kan ada tambahan (biaya)," ujarnya.
Namun, menurutnya bila akan memberlakukan kebijakan itu timing tidak tepat, karena saat ini Bali sedang meningkatkan animo wisman datang ke Bali.
"Tapi, menurut saya harusnya lihat dulu timing-nya yang tidak pas. Karena, kita sedang meningkatkan dulu animo wisatawan dunia. Di samping itu, melihat kondisi (ekonomi) global dan itu mengurangi animo calon wisatawan untuk datang ke Bali atau ke Indonesia. Setiap kebijakan itu, sebaiknya kita undang dulu stekholder dapat dukungan apa tidak," ujarnya. (AWT/hen)
Load more