Denpasar, Bali – FS, siswa SMA warga Jepang yang didakwa melakukan pelecehan seksual terhadap adik kelasnya di sebuah toilet mall di kawasan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dituntut 2 tahun penjara dan 3 bulan kerja sosial dalam sidang tertutup di Pengadilan Negeri Denpasar.
Tuntutan Jaksa tersebut membuat kuasa hukum korban, Siti Sapurah alias Ipung geram.
Saat dihubungi, Jumat (9/12) Ipung menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak memandang apa yang dialami oleh korban. Aktifis pemerhati anak dan perempuan tersebut mengingatkan JPU seharusnya menjerat terdakwa bukan dengan Pasal 81 Ayat 2, tetapi Pasal 81 Ayat 5 dengan ancaman minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
Dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 81 Ayat 5: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Loh, kok harus jaksanya yang mematok di bawah minimal, harusnya kan hakim yang memutuskan separuh dari ancaman orang dewasa. Loh kok jaksa menjadi pengacaranya terdakwa di sini,” kata Ipung Jumat (9/12).
“Saya akan melaporkan JPU ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI di Jakarta, saya tidak mau tahu. Sebab, saya keberatan. Saya hadir disini sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) melindungi masyarakat dan anak Indonesia, bukan WNA,” tegasnya.
Ipung juga mengungkapkan pada Selasa (6/12/2022) lalu, pengacara terdakwa sempat menyatakan keberatan dirinya masuk ke ruang sidang. Pengacara terdakwa beralasan jika posisi kuasa hukum korban sudah bisa digantikan oleh Jaksa.
Namun Ipung kembali bertanya, jika memang posisi Kuasa Hukum di ruang sidang bisa digantikan Jaksa, kenapa tuntutan terhadap terdakwa hanya 2 tahun dan 3 bulan kerja sosial.
“Lebih parah lagi, korban dan keluarga korban dihadirkan di ruangan sidang. Sedangkan, anak pelaku tidak. Kemudian saksi-saksi semuanya lewat online. Adil tidak buat Indonesia? Saya katakan jelas tidak,” tegasnya.
Ipung menilai tuntutan Jaksa kepada terdakwa 2 tahun dan 3 bulan kerja sosial tanpa denda terhadap terdakwa dipenuhi banyak kejanggalan. Ipung menilai sejak awal seperti ada perlakuan istimewa terhadap terdakwa yang merupakan WNA, sejak pelimpahan yang hanya menyerahkan berkas tanpa kehadiran, pelaku yang hanya lewat daring.
“Pernah gak JPU ini melakukan hal istimewa terhadap anak terdakwa Indonesia? Terus bagaimana ceritanya pelimpahan melalui daring? Alasan pembenarnya apa, pandemi tidak? Bukankah pelimpahan tahap dua, orang dan barang bukti sekaligus ikut dikirim penyidik kepolisian ke JPU, kan dia di BAP disana, dihadapkan ke JPU yang menerima berkasnya dan menandatanganinya. Berarti yang kerja keras ini siapa dong?,” ucapnya. (awt/hen)
Load more