"Dewan Pers dalam peraturannya sudah memiliki pegangan aturan dalam peliputan terorisme. Bagaimana caranya aparat kita ini tidak menjadi sasaran utama terorisme. Contoh dalam pengadilan kasus terorisme, saya yakin aparat ketakutan jika diberitakan identitas hakim, jaksa apalagi keluarganya. Fokuslah terhadap kasusnya, jangan melebar kemana - mana. Keluarga, rumah (petugas) dan lain - lain jangan dibahas di media," kata Totok Suryanto.
Selain mementingkan keselamatan petugas, kata Totok, pemberitaan kasus terorisme juga tak boleh asal - asalan memilih narasumber. Contohnya, jika dalam penggrebekan ada anak pelaku teror yang harus berikan perlindungan, media jangan wawancara anak tersebut.
"Aspek perlindungan manusiawi, anak kecil harus diberikan perlindungan. Misalnya anak tak punya kapasitas yang cukup, jangan ditanya. Hati - hati, pers jangan menjadi ampliflier (pemanas)," ucap Totok.
Sementara itu, Kasubdit Pengamanan Lingkungan BNPT Kolonel TNI Setyo Pranowo berharap dengan adanya pemaparan materi pecegahan terorisme serta radikalisme ini seluruh jurnalis bisa lebih bijak dalam melakukan peliputan atau memberitakan kejadian aksi atau berkaitan dengan terorisme.
"Saya harap semuanya bisa melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya saat melakukan peliputan aksi terorisme. Sebagai upaya mencegah dan melindungi bangsa sinergi bersama Dewan Pers. Pasalnya, dukungan bahwa wartawan atau media berperan aktif dengan tujuan dari teror yang membuat kepanikan publik bisa ditekan dengan peran media massa," kata Setyo Pranowo.
(dai/ fis)
Load more