Garut, tvOnenews.com - Buntut pembebasan pelaku penodong wanita yang menggunakan pistol dan golok oleh polisi di Garut, Jawa Barat, ditanggapi berbeda oleh praktisi hukum. Pasalnya, meski korban mencabut laporan dan dilakukan Restorative Justice (RJ), namun ada perkara lain, yaitu terkait kepemilikan senjata api ilegal dan senjata tajam yang ancamannya 10 tahun penjara.
Dede, preman kampung asal Kecamatan Banjarwangi Garut, Jawa Barat, dianggap bersih dari tuduhan melakukan penodongan menggunakan pistol dan golok. Sebelumnya, pada Rabu (12/7/2023) pelaku, melakukan intimidasi terhadap dua orang perempuan di jalan desa, tepatnya di Kampung Cikoleang, Desa Dangiang, Kecamatan Banjarwangi.
Saat melakukan penodongan menggunakan pistol dan golok, salah seorang korban bernama Maharani, berupaya merekam menggunakan ponselnya, saat perbuatan pelaku yang menghunus golok dan mengeluarkan sepucuk senjata api jenis pistol. Tak sampai di situ, korban kemudian menyebarkan video tersebut, hingga viral di media sosial.
Tak berlangsung lama, polisi langsung mengamankan pelaku ke Mapolsek Banjarwangi, kemudian melimpahkan kasusnya ke Polres Garut. Namun sayang, perkara viral penodongan tersebut malah dihentikan lewat proses Restorative Justice (RJ), pada Senin (17/7/2023) kemarin.
Praktisi hukum menilai proses RJ tak asal bisa diterapkan kepada pelaku kejahatan, karena proses RJ tersebut bisa diberlakukan kepada pelaku yang tak pernah berbuat kejahatan dan ancaman hukuman di bawah 5 tahun serta kerugian korban di bawah Rp 2,5 juta.
"Salah satu syarat ada korban dan pelaku, kemudian ada pasal yang bisa di RJ, ada juga pasal yang tidak bisa di RJ, misal pembunuhan atau tindak pidana berat yang ancamannya diatas 5 tahun, nah yang kasus preman ini kan bawa senjata tajam undang-undang darurat kan lebih tinggi 10 tahun ancamannya, seharusnya tidak bisa RJ," kata Yudi Kurnia, S.H., M.H., praktisi hukum Jawa Barat, Rabu (19/7/2023) saat dihubungi.
Dalam kasus preman todongkan pistol dan golok di Garut, polisi juga berdalih, bahwa pelaku dianggap mengidap gangguan jiwa, sehingga perkaranya dihentikan. Namun, lagi-lagi praktisi hukum yang membongkar kasus besar pelecehan Guru Harry Wirawan ini menganggap, keterangan sakit jiwa atau ODGJ, memerlukan keterangan ahli medis.
Load more