Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kebijakan baru yang diterapkan di Garut, hal itu bisa memicu pro dan kontra masyarakat di era milenial.
"Pemberlakuan jam malam itu baru menyentuh permukaan saja, sementara akarnya belum tersentuh. Ada variabel lain, bagaimana akar persoalan misal kenakalan remaja dan anak tidak bisa disentuh, maka metode ini akan menimbulkan persoalan baru," kata Ato Rinanto, Ketua Forum KPAI Jawa Barat.
Persoalan kenakalan remaja dan anak adalah persoalan bersama, sehingga polisi memerlukan ahli lain untuk bisa menyentuh permasalahan anak.
"Bukan hanya petugas, akan tetapi tiap anak memiliki peran bagaimana pola asuh di rumah dan pergaulan lingkungan, itu juga perlu disentuh. Jadi jangan hanya disentuh polisi, harus semua pihak, dari pemda dari KPAI, dari unsur - unsur lainnya pun harus ikut menangani kenakalan remaja ini," tambahnya.
KPAI menganggap kejahatan digital pada anak lebih berbahaya dibandingkan kejahatan nyata. Dimana kejahatan digital bisa membuat pola berfikir anak rusak dan bisa membuat anak menjadi korban grooming.
"Kekerasan digital misalnya, anak sekarang banyak jadi korban grooming, si pelaku membuat akun palsu yang mengelabui anak, kemudian melakukan berhubungan badan lewat video call kemudian videonya disebar, diperjual belikan. Itu salah satu kekerasan anak di dunia maya, artinya lebih bahaya kekerasan anak di dunia maya dibandingkan dunia nyata," tegasnya.
KPAI merespon positif langkah yang dilakukan polisi di Garut, namun ia menganggap persoalan anak sebagai penerus cikal bakal bangsa ini memerlukan sentuhan dari seluruh pihak,"kebijakan jam malam itu bagus sebagai upaya pencegahan, tapi kan harus ada ahli yang ikut dilibatkan. Sentuhan kepada anak berbeda dengan sentuhan kepada dewasa. Artinya polisi juga harus melibatkan unsur lain agar bisa membantu menanggulangi kejahatan anak,"tutupnya. (THH)
Load more