tvOnenews.com - Wartinah nyaris berkepala enam. Tidak heran jika beragam penyakit mendekapnya. Kolesterol, gangguan tidur, rematik, dan asam urat. Intensitas kambuh penyakitnya setara dosis obat. Sehari tiga kali, kadang lebih.
Ibu dua anak ini sudah tidak bisa berlama-lama mengayuh sepeda, dari siang sampai menjelang matahari tenggelam, mengedarkan terasi buatannya sendiri dari kampung ke kampung. Padahal, aktivitas itu sudah lebih dari dua dekade dia lakukan, tepatnya setelah dia pulang ke tanah air dari Timur Tengah sebagai buruh migran. Di Desa Rawagempol, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Wartinah adalah master pembuat terasi, layaknya perempuan seangkatan dirinya di kampung itu.
"Sekarang, badan saya mudah capek. Tapi mau bagaimana lagi, saya tidak punya banyak pilihan. Saya tidak punya waktu menyalahkan nasib. Waktu yang saya punya lebih baik dipakai untuk membuat terasi," katanya sambil memipihkan adonan fermentasi udang rebon.
Bulatan adonan setengah basah seukuran telapak tangan orang dewasa itu kemudian dia jemur sampai kering. Dalam sehari, dari 10 kilogram bahan baku terasi, Wartinah biasa memproduksi rata-rata 100 keping terasi ukuran sedang, dan 20 ukuran besar. Satu keping terasi ukuran sedang dijual Rp2.500, dan keping besar Rp10.000.
Jam dinas Wartinah dimulai sejak subuh. Dia mencubit adonan cokelat kehitaman yang bertekstur seperti pasta dengan tangan kanan, kemudian memindahkannya ke tangan kiri hingga membentuk ukuran sebesar telapak tangan. Setelah itu, adonan tersebut dipipihkan sampai lembut dan dicetak menggunakan alat pencetak, sehingga menghasilkan bentuk bulatan besar yang rapi. Kepingan-kepingan tersebut kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Jika cuaca mendukung, adonan sudah bisa diangkat pada siang hari. Setelah itu, terasi dikemas dalam bungkus kertas. Terasi yang telah siap edar ini kemudian dia bawa menggunakan sepeda untuk dijual keliling kampung, dititipkan di warung-warung langganan, atau diantarkan langsung kepada para pelanggan. Pulangnya, Wartinah mampir ke pasar, membeli adonan fermentasi udang rebon untuk jadi bahan baku keesokan harinya.
Saat Wartinah bekerja di dalam rumah, di luar, suaminya duduk di atas lincak sambil memandangi jalan. Sudah hampir dua tahun suaminya sakit. Ingatan dan memorinya kerap hilang. Berbagai tempat, dari mulai dokter sampai pengobatan alternatif, sudah mereka datangi untuk mendapat pengobat, berbekal uang seadanya dari keuntungan jual terasi dipotong makan sehari-hari.
Sejak suaminya sakit, Wartinah menjadi tulang punggung keluarga. Anak pertamanya sudah menikah, namun belum dapat pekerjaan. Sehari-hari si sulung kerja serabutan. Sementara si bungsu bertahan hidup dengan ikut temannya, menjadi asisten videografer dan fotografer pernikahan.
Load more