Adanya altar tersebut memang sudah dibangun sejak klenteng ini pertama kali didirikan oleh seorang suhu Kong Hu Chu bernama Suhu Cang Siu Tze. Menurut penuturan Sanjaya, Cang Siu Tze memang mempelajari semua agama dan berkeyakinan bahwa semua agama menyembah kepada satu tuhan yang sama.
"Kenapa bisa ada banyak ajaran seperti itu? Karena suhu kita suhu Cang SIU TZE mempelajari semua agama, universal untuk melayani semua umat dengan cara kebatinan, pengobatan dan peribadatan sesuai agama masing-masing," tutur Sanjaya.
Atas dasar kepercayaan tersebut, akhirnya Cang Siu Tze membuat klenteng dengan konsep adanya tempat persembahyangan untuk semua agama. Hal tersebut menjadi simbol toleransi tersendiri dari Klenteng Giri Toba ini.
"Memang untuk seluruh agama, jadi umat yang datang dari muslim, hindu, Budha, kong hu Chu dipersilahkan sesuai dengan kepentingan umat beragamanya dan bertoleransi dengan semua kalangan, bermasyarakat yang melaksanakan falsafah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Jadi untuk menjaga keharmonisan masyarakat yang ada disekitarnya maupun yang di luarnya," jelas Sanjaya.
Konsep toleransi tersebut juga ternyata bukan hanya simbol pada latar semata, namun memang diimplementasikan oleh para Umat Kong Hu Chu di klenteng tersebut. Beberapa kegiatan dengan agama lain rutin dilakukan oleh pihak klenteng setiap satu tahun sekali seperti bakti sosial, maulid nabi sampai perayaan Idul Fitri.
"Peribadatannya ada kebaktian, dan kalau bulan maulid juga kita biasa ngadain maulid, kita undang para ustad para kiyai dan umat muslim dan kong hu Chu, disitu juga umat kong hu Chu sambil mendengarkan ceramah dengan para ustad dan kyai," ungkap Sanjaya.
(cep/ fis)
Load more