Temanggung, tvOnenews.com- Masyarakat Desa Tlahap, Kledung tumpah ruah di tengah ladang tembakau. Ratusan warga dari setiap rukun tetangga (RT) membawa ambengan (nasi tumpeng) sebagai wujud syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa dalam ritual Wiwit Mbako.
Doa khusus yang dipanjatkan masyarakat Desa Tlahap selain berisi harapan agar panen tembakau lancar dan harga terjaga, juga berisi harapan kepastian terhadap keberlangsungan mata pencaharian mereka di tengah polemik Pasal 154 mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Dalam doa dan ritual Wiwit Mbako ini, masyarakat Desa Tlahap ingin menunjukkan bahwa tembakau yang merupakan berkah semesta alam ini telah membawa kemaslahatan bagi banyak orang.
"Dapur kami, pendidikan anak-anak kami, semua berasal dari tembakau. Tembakau yang menyejahterakan kami. Kami tidak terima dan terus menyuarakan penolakan agar tembakau tidak disamakan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol seperti yang ada di Pasal 154 RUU Kesehatan," ujar Hariyanto, petani tembakau Desa Tlahap, Minggu (11/6).
Wiwit Mbako biasanya memang dilakukan setelah usia tembakau yang ditanam 2-3 bulan. Sesuai proyeksi BMKG, tahun ini cuaca bersahabat bagi petani tembakau. Oleh karena itu, para petani memiliki harapan tinggi sampai akhir musim tembakau nanti.
"Tembakau adalah andalan kami. Tembakau mata pencaharian kami. Kami siap memperjuangkan tembakau sampai titik darah penghabisan," tegas Hariyanto.
Senada, Cipto Utomo dari kelompok tani Sarwodadi menuturkan bahwa upaya meloloskan klausul tembakau di RUU Kesehatan adalah bentuk pengkhianatan pemerintah yang selama ini selalu menjanjikan pemberdayaan petani.
Load more