Semarang, Jawa Tengah - Masa kecil akan selalu dikenang. Begitu juga dengan mainan anak-anak. Akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidup. Dan salah satu nostalgia itu, ada pada gerabah mainan.
Di Semarang, gerabah mainan seperti itu rutin muncul kembali setiap bulan Sya'ban atau bulan sebelum memasuki puasa Ramadhan seperti sekarang ini. Beberapa pedagang gerabah mainan mulai terlihat di jalan arteri dekat Masjid Agung, serta di sekitar Pasar Johar dan Masjid Kauman. Mereka bersiap menunggu dibukanya pekan dugderan yang merupakan tradisi menjelang masuknya bulan Ramadhan di Kota Semarang.
"Dulunya gerabah mainan banyak dijual di pasar tradisional. Tapi sekarang sudah banyak mainan pabrikan. Kita-kita ini cari cara lain agar bisa bertahan. Ya, dengan jualan di tempat-tempat yang ada acara rutin tiap tahun. Seperti Dugderan di Semarang, Sekatenan di Yogyakarta, acara Grebeg di Solo, atau pada setiap ada pasar malam di berbagai kota," kata Mahfud, pedagang gerabah keliling asal Demak yang berjualan keliling di Semarang.
Gerabah mainan, kata Mahfud, dibuat oleh para perajin di daerah Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Daerah tersebut memang secara turun-temurun menjadi pengolah kerajinan tanah liat. Kemudian para pedagang memborongnya, dan dijual keliling dengan membuat lapak di tepi jalan.
"Cara jualan seperti ini cocok untuk bakul (pedagang) gerabah mainan. Karena hanya buka sesekali setiap tahun dan bergantian di setiap acara dan daerah. Karena acara seperti itu yang sering didatangi warga. Biasanya, orang tua cerita dan membeli untuk anak cucu mereka," jelasnya.
Dibanding dengan mainan pabrik dari plastik, gerabah ini punya kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari seni tentu kerajinan tangan lebih menarik. Tapi karena terbuat dari tanah liat, maka gerabah lebih mudah pecah. Dibalik itu, justru juga bisa mengajarkan kepada anak untuk hati-hati merawatnya.
Harga gerabah mainan oleh dibilang sangat murah. Biasanya pedagang menjual satu paket berisi sepuluh jenis. Pembeli juga bisa memilih sendiri apa yang mereka mau.
Setiap sepuluh mainan kecil harganya lima belas ribu rupiah bisa juga lebih. Sedangkan yang besar seperti celengan menyesuaikan bentuk dan ukuran.
Bagi para pedagang, meski sudah digempur oleh mainan import dari plastik, usaha mainan anak tradisional dari tanah liat masih prospektif.
"Kita punya pasar sendiri. Selama ada acara dan pusat keramaian, ya, dapur iso ngebul (tetap ada penghasilan untuk memasak atau makan), Mas," ungkap pedagang. (Teguh Joko Sutrisno/dan)
Load more