Semarang, Jawa Tengah - Jika tidak ada tulisan Reservoir Siranda yang terpasang melengkung, mungkin orang tak akan sadar dengan sebuah bangunan yang sebagiannya tertutup rumput rapi. Bangunan tandon tua di tepi Jalan Diponegoro Semarang tersebut tidak begitu mencolok, meski berada di jalan besar menurun menuju arah Simpang Lima.
Ya. Reservoir adalah tandon atau tempat penampung air berukuran besar. Menurut catatan sejarah, Pemerintah Hindia Belanda membangunnya di atas bukit untuk pemasok kebutuhan air ke pemukiman dan fasilitas publik lainnya di Semarang bagian bawah. Butuh waktu selama 11 tahun, dari 1912 sampai 1923 untuk menyelesaikannya. Hal itu bisa dilihat tulisan yang tertera angka 1923 di beton reservoir.
Waktu itu Belanda menyebutnya waterleiding yang artinya saluran air. Luasnya 2.500 meter persegi. Fungsinya untuk menampung air minum yang nantinya disalurkan ke pusat pemukiman dan fasilitas lainnya di Semarang bagian bawah.
Saat berbincang dengan tvOnenews.com beberapa waktu lalu, Yongki Tio (75), seorang pengamat sejarah Kota Semarang tersebut menuturkan, reservoir Siranda itu semacam penampung besar. Sumber airnya sendiri dari sumber di daerah Pudakpayung dan Ungaran, sebuah wilayah di Semarang bagian atas.
"Sebenarnya ada dua reservoir, yang satu di daerah Siranda ini, dan yang satu lagi ada di daerah tanah putih. Dulu dari penampungan ini air kemudian disalurkan untuk kepentingan air minum orang Belanda dan penduduk lainnya di pusat kota," jelas Yongki.
Dalam perjalanan sejarah Kota Semarang, Reservoir Siranda menjadi saksi bisu perjuangan rakyat saat melawan tentara Jepang. Momen tersebut memunculkan kisah heroik seorang dokter yang namanya diabadikan menjadi nama rumah sakit terbesar di Jawa Tengah, yaitu RSUP dr. Kariadi.
"Namanya Kariadi, ia dokter yang menjadi kepala laboratorium Rumah Sakit Purusara Semarang pada tahun 1945," cerita Yongki Tio.
Saat itu, lanjutnya, di bulan Oktober 1945, Jepang sudah tertekan setelah kalah dalam Perang Dunia II. Dengan sisa kekuatannya, Jepang mencoba melawan pribumi yang sudah memproklamirkan kemerdekaan dan berupaya mempertahankannya.
Ada kabar, tentara Jepang melakukan siasat untuk meracuni rakyat Semarang. Caranya dengan menuangkan bahan kimia beracun di Reservoir Siranda.
"Dokter Kariadi juga menerima kabar itu ketika melakukan rapat dengan para pejuang di sebuah ruangan rumah sakit. Ia yang ahli soal ini, terpanggil untuk menyelamatkan rakyat Semarang. Meski saat itu dicegah oleh pemuda lainnya. Kalau tidak salah istrinya juga sudah mencegah. Namun, tekadnya bulat. Bersama sopir ia mencoba naik ke arah reservoir tersebut. Tujuannya, meneliti apakah airnya sudah diracun Jepang atau belum," tutur Yongki.
Namun, Dokter Kariadi dan rombongan dicegat tentara Jepang saat perjalanan menuju reservoir. Ia ditembak. Para pemuda sempat membawanya ke rumah sakit. Namun karena luka tembaknya parah, ia pun gugur.
Hal itulah yang kemudian memicu kemarahan rakyat Semarang, dan pecah pertempuran antara pemuda Semarang dengan sisa tentara Jepang.
"Dahsyat. Pertempuran berlangsung selama lima hari. Catatan sejarah tertulis dari tanggal 14 hingga 19 Oktober 1945. Kemudian ada gencatan senjata yang diprakarsai pemimpin gereja waktu itu Soegijopranoto," lanjut Yongki.
Lokasi pusat pertempuran selama lima tersebut, sekarang dibangun sebuah tugu yang diberi nama Tugu Muda. Letaknya persis di depan Lawang Sewu. Dan di tempat ini setiap setahun sekali diadakan peringatan pertempuran lima hari dengan sebuah drama kolosal.
Dokter Kariadi kemudian diabadikan dengan mengganti nama Rumah Sakit Purusara menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang.
Sementara, Reservoir Siranda hingga sekarang masih berfungsi dan dikelola oleh PDAM Semarang sebagai penampung cadangan air. (Tjs/dan)
Load more