Surabaya, tvOnenews.com - Pakar Hukum Tata Negara di Surabaya menilai putusan Pengadian Negeri Jakarta Pusat, yang memutus KPU RI untuk menunda tahapan pemilu 2024, bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
Terkait putusan yang kontroversial ini, Komisi Yudisial (KY) didesak untuk memanggil dan memeriksa Hakim bersangkutan. Apakah dalam memberi putusan ada upaya penyalahgunaan wewenang atau tidak.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya, DR Hufron SH MH menilai, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini tidak tepat. Hal ini karena dalam gugatan sebagai tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU, merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan Pengadilan Negeri, berdasarkan peraturan mahkamah agung nomor 2 tahun 2019.
“Hal ini berdasarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019, jadi tidak berwenang Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus sengketa terkait dengan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini KPU, itu yang pertama,” ungkap Hufron.
“Kedua juga tidak tepat kalau putusannya itu adalah memerintahkan kepada KPU sebagai terduga untuk menunda pelaksanaan Pemilu. Kenapa? Karena putusan tersebut, perintah tersebut bertentangan dengan konstitusi di mana bahwa Pemilu itu dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” ujarnya.
Menurut Hufron, wacana untuk melaksanakan Pemilihan Umum susulan atau lanjutan (ditunda) dapat dilakukan sepanjang terdapat sejumlah alasan kuat, diantaranya gangguan keamanan atau perang, bencana alam atau gangguan lain yang menyebabkan sebagian atau seluruh tahapan pemilu berhenti.
Putusan PN Jakarta Pusat Tidak Bisa Dieksekusi
Hufron menambahkan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak bisa dieksekusi karena putusan tersebut adalah pertentangan dengan konstitusi dan undang-undang. Apalagi sebenarnya kalau berbicara soal gugatan perdata itu sifatnya adalah putusannya berlaku bagi kedua belah pihak, berbeda dengan Hukum Tata Usaha Negara, yang diperiksa di dalam putusan MK,” ujarnya.
Putusan Peradilan Tata Usaha Negara itu, kata Hufron, bersifat organis yang berlaku buat seluruh rakyat Indonesia. Sementara kalau perdata hanya berlaku buat sebagian saja. Oleh karena itu, menurut Hufron, tidak tepat dari sisi kompetensi siapa yang berwenang.
“Saya ingin mengatakan bahwa dalam skema penyelesaian sengketa pemilu, sengketa verifikasi terhadap hasil verifikasi partai politik adalah melalui Bawaslu dan melalui Pengadilan Tata Negara,” jelasnya.
Karena itu, Hufron meminta agar dari putusan ini Komisi Yudisial untuk memanggil dan memeriksa Hakim bersangkutan. Apakah dalam konteks putusan ini ada upaya penyalahgunaan wewenang atau tidak. Hal ini untuk memastikan supaya tidak menimbulkan kecurigaan di balik keluarnya putusan tersebut.
“Komisi Yudisial untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi, apakah di balik putusan yang luar biasa ini ada penyalahgunaan wewenang atau tidak. Tentu Mahkamah Agung atau Badan Pengawas Mahkamah Agung bisa mengkonfirmasi soal adanya dugaan penyalahgunaan tersebut atau pelanggaran kode etik,” jelasnya.
“Saya kira itu catatan penting agar ke depan tidak ada lagi istilah yang menurut Pak Mahfud (Menkopolhukam) sebagai sensasi yang berlebihan. Kalau menurut saya sebenarnya ini lebih kepada pemahaman secara utuh tentang rule and prosedur. Bagaimana penyelesaian sengketa pemilu yang menurut kita bahwa ini keluar dari sengketa prosedur, yang disiapkan oleh konstitusi oleh undang-undang dan turunannya terkait penyelesaian sengketa pemilu,” pungkasnya. (msi/gol)
Load more