Surabaya, tvOnenews.com - Memasuki tahun politik beragam cara dan strategi gencar dilakukan oleh para calon legislatif maupun partai politik untuk meraup suara simpatisan dan pemilih sebesar-besarnya, salah satunya dengan menggunakan nama depan Gus, Lora bahkan Habib.
Wakil Bendahara Rabithah Ma’ahid Al Islamiyah (RMI) NU Jawa Timur, Gus Fawait menyoroti maraknya sejumlah oknum yang mengatasnamakan diri sebagai ulama, kiai dan gus dalam aksi dukung mendukung kandidat yang turut meramaikan pemilu 2024 mendatang.
“Saya ingat apa yang disampaikan ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf bahwa warga nahdliyin harus menghindari politik identitas,” kata pria asal Jember saat dikonfirmasi, Kamis (9/3).
Diakui Gus Fawait, sekarang ini orang begitu mudahnya mengklaim dirinya sebagai ulama, kiai, gus maupun lora hingga kerap menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Ulama itu simbol agama dan pewaris para nabi. Ini ada hadistnya lagi, sehingga tak bisa dibuat main-main,” tegas Presiden Laskar Sholawat Nusantara (LSN) ini.
Menjadi ulama itu, kata Gus Fawait, harus jelas sanad keilmuan maupun gurunya. “Kalau sanad ilmunya tak jelas, maka tidak bisa dengan seenaknya mengatasnamakan diri ulama,” dalih pria asal Jember ini.
Begitu juga dengan sebutan gus atau lora, kata Gus Fawait, sebetulnya hanyalah sebutan untuk penghargaan atau penghormatan kepada putera seorang ulama ataupun kiai oleh masyarakat setempat.
“Jangan sampai hanya bermodalkan sorban, gamis dan sebagainya lalu mengaku ulama. Lalu orang bisa mengobati penyakit lalu menyebut gus. Tentunya, harus jelas latar belakangnya atau nasabnya dan tidak seenaknya disematkan itu,” tambah Gus Fawait.
Jika seenaknya menyematkan atau menambahkan kata kiai dan gus pada seseorang, maka hal tersebut bisa merugikan ulama dan gus yang sebenarnya alias yang asli.
“Tentunya sebagai santri tidak akan terima kalau sebutan kiai dan gus digunakan sembarangan ke hal-hal yang tak bisa dipertanggungjawabkan,” tegas anak angkat pengasuh ponpes Al Qodiri Jember ini. (zaz/gol)
Load more